BAB I
PENDAHULUAN
Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita
kenal sebagai hadits. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat
perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabat khususnya yang
mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu mencurahkan tenaga dan
waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin
dipergunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat
memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan
melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an. Mereka belum membayangkan
bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan
dalam tulisan.
Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw, muncul
inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan
secara bertahap, seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan
hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi
umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pada
Masa Rosulullah Saw
Masa ini dikenal dengan masa wahyu dan
pembentukan hukum serta dasar-dasarnya, dimulai dari permulaan Nabi diangkat
rasulullah
hingga wafatnya pada tahun 11 H (mulai dari 13 tahun sebelum hijriah sampai 11
H) perkembangan hadits pada masa ini ditandai dengan cirri-ciri sebagai berikut
:
1. Para sahabat menerima dan memperoleh hadits
melalui
media: majlis ‘ilmi, melalui sahabat tertentu, ceramah pada tempat
terbuka (seperti
pada waktu haji wada’), serta berhubungan langsung dengan Nabi untuk menanyakan berbagai
masalah atau mengetahui perbuatan dan amalannya yang perlu dicontoh. Para
sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Rasulullah Saw karena berbeda
tempat tinggalnya, kegiatan sehari-hari, (ada yang sering bepergian, ada yang
sering beribadah dimasjid, dan lain-lain), sedang Nabi pun tidak selalu secara
rutin mengadakan ceramah terbuka untuk menyampaikan berita. Para sahabat yang
banyak menerima pelajaran beliau adalah :
a. Yang terdahulu masuk islam (As-sabiqunal
awwalun) seperti khalifah empat, Abdullah bin mas’ud.
b. Yang selalu
berada disamping nabi dan bersungguh-sungguh menghafal hadits (seperti Abu
hurairah), atau yang mencatat hadist (seperti Abdullah bin Amr bin Ash).
c. Yang
lama hidupnya sesudah nabi, karena dapat menerima hadist dari sesama sahabat,
seperti Anas bin malik dan Abdullah bin Abbas.
d. Yang
erat hubungannya dengan nabi, yaitu ummul mu’minin, seperti siti aisyah dan
ummu salamah.
Hadist atau sunnah nabi tidak ditulis seperti
Al-Qur’an, karena ada larangan Nabi Saw, yang khawatir andaikan campur dengan
Al-Qur’an, disamping umumnya para sahabat mengandalkan pada kekuatan hafalan,
dan juga karena kekurangan tenaga penulis dikalangan mereka. Namun demkian ada
juga sahabat yang menulisnya tidak secara resmi, melainkan atas inisiatif
sendiri seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin amr bin ash dalam sebuah
shahiffah yang diberi nama Ash – shadiqah. Setelah Al-Qur’an dibukukan
ditulis dengan sempurna serta lengkap pula turunnya, barulah izin penulisan
hadist pun dikeluarkan.
B. Pada Masa Khulafaur
Rasyidin
Masa ini disebut masa
periwayatan hadits secara terbatas (12-40 H). Para sahabat sedikit demi sedikit
menyampikan hadits kepada orang lain setelah Nabi Saw wafat. Hal tersebut
dilakukan mereka dengan penuh kehati-hatian karena takut berbuat salah. Sabda
Nabi Saw :
Ketahuilah ! Hendaklah orang yang hadir
menyampaikan kepada orang yang ghaib (tidak hadir) diantaramu. (diriwayatkan
ibnu Abdil bari dari abu bakrah)
Sampaikanlah daripadaku walaupun hanya satu
ayat (maksudnya satu hadist). Riwayat bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash.
Periwayatan yang dilakukan
para sahabat yang pergi kekota-kota lain, dilakukan mereka dengan menyampaikan
hadits kepada para sahabat lain dan tabi’in dengan sangat dibatasi dan sekedar
keperluan, tidak bersifat pelajaran. Terutama pada masa Abu bakar dan Umar
lebih sangat berhati-hati karena ingin menjaga jangan sampai terjadi pendustaan
dalam mentabligkannya yang diancam dosa besar. Sabda Nabi Saw :
Barang siapa berdusta atas namaku dengan
sengaja, maka tempatnya disediakan di neraka. (riwayat jama’ah perawi hadist)
Para sahabat disamping
terbatas dalam meriwayatkan hadist, juga sangat berhati-hati dalam menerima
sesama sahabat dengan memperhatikan rawi/periwayat dan marwi (hadits yang
diriwayatkan), tidak memperbanyak menerima hadits atau meriwayatkannya. Baru
pada masa khalifah Ustman dan Ali bin abi thalib dimulai pengembangan hadits
dan periwayatannya, mereka meriwayatkan hadits dengan dua cara, yaitu:
a. Dengan
lafazd asli seperti diterima dari Nabi
b. Dengan
maknanya, walupun lafzdnya lain, karena yang penting adalah menyampaikan maksud
isinya.
Keadaan sunnah pada masa Rasulullah belum ditulis ataupun
dibukukan secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini
dikarenakan adanya larangan menulis hadits dari Rasulullah SAW lewat sabdanya:
لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمح
Artinya: jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang
siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr.
Muslim dari Abu Said Al Khudry).
Namun disamping itu, ada hadits yang membolehkan dalam penulisannya
yaitu:
اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن الاالح
Artinya: Tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam
kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak.
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama
mengkompromikannya sebagai berikut:
1. Bahwa larangan menulis hadist itu
terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur
dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan
telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telah
dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
2. Bahwa larangan menulis hadist itu
bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang
memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam
menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin
Ash.
3. Bahwa larangan menulis hadist
ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan
perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kaut hafalannya.
C. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat
Sahabat merupakan umat islam yang yang bertemu dengan Nabi Saw dan
semasa dengan beliau. Klasifikasinya terbagi menjadi dua yakni: Sahabat besar
dan sahabat kecil. Sahabat besar merupakan sahabat yang bergaul dengan Nabi,
banyak belajar dan mendengar hadits-hadits dari beliau serta sering pergi
berjihad. Sedangkan sahabat kecil adalah para sahabat yang jarang bergaul
dengan Nabi disebabkan jauhnya jarak tempat tinggal dari kediaman Nabi.
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat,
khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn
Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa
ini juga disebut dengan sahabat besar. Masa ini juga disebut dengan masa
sahabat besar karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, periwayatan hadis belum begitu
berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu para ulama menganggap masalah
ini sebagai masa yang menunjukkan pembatasan periwayatan (At-Tasabbut wa
Al-Iqlal min Ar-riwayah) (Mudasir. 1999.90).
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul Saw berpesan kepada para
sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya
kepada orang lain sebagai mana sabdanya:
تركت فيكم أمر يى لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب الله وسنة نبيّه
Artinya: Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak
akan tersesat setelah berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah
(Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadits).
Terdapat dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist yaitu:
Periwayatan Lafdzi berarti redaksinya persis seperti yang
disampaikan Rasulullah Saw. Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadits dengan
jalan ini. Sebab mereka berupaya agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi
dari Rasulullah Saw dan bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut Ajjaj Al
Khatib, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan hadis dilakukan dengan
lafdzi bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka melarang ketat meriwayatkan
hadis dengan maknanya saja (maknawi), bahkan mereka tidak membolehkan mengganti
satu huruf atau satu kata pun. Begitu pula mendahulukan susunan kata yang
disebut Rasul belakangan atau sebaliknya atau meringankan bacaan yang tadinya
siqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin khathab pernah berkata:
Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasulullah SAW kemudian ia
meriwayatkannya sesuai yang ia dengar maka ia akan selamat (Mudasir.1999.92).
Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi berarti redaksinya tidak sama persis seperti
yang didengar dari Rasulullah Saw. Akan tetapi isi atau maknanya sama dan tetap
terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada
perubahan.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat
hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ia menggunakan
term-term tertentu untuk menguatkan penukilannya seperti dengan kata qala
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam hakadza (Rasulullah SAW telah bersabda
begitu) atau qala Rasullah Shallallahu alaihi wasallam qariban min hadza
(Mudasir. 1999.92).
Periwayatan hadis dengan maknawi mengakibatkan munculnya
hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis dengan hadis lainnya
berbeda-beda, meskipun maksud dan maknanya sama. Hal ini sangat bergantung
kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis
tersebut (Mudasir. 1999.92).
a. Masa Pemerintahan Abu Bakar
As-Shiddiq
Setelah Rasulullah saw wafat, banyak sahabat yang berpindah ke
kota-kota luar madinah sehingga memudahkan untuk penyebaran hadits. Namun
dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup
membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka pada masa khalifah Abu
Bakar menerapkan peraturan-peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Pada
masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun dan membukukan hadits seperti
halnya Al-Qur’an. Hal ini karena umat islam lebih fokus mempelajari Al-Qur’an.
Selain itu banyaknya para sahabat yang berpindah ke kota-kota luar dan tersebar
di berbagai daerah kekuasaan islam dengan kesibukannya masing-masing sebagai
pembina masyarakat. Hal inilah yang mempersulit dalam membukukan hadits. Selain
itu pula adanya perselisihan pendapat antar sahabat belum lagi mengenai
keshahihan dan lafadznya.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar ini misalnya untuk menghindari
adanya kebohongan beliau meminta pengukuhan para sahabat lain ketika nenek
datang padanya dan mengatakan “saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal
oleh para anak laki-laki saya”. Kemudian Abu Bakar menjawab “saya tidak melihat
ketentuan seperti itu, baik dalam Al-Qur’an maupun dari rasul.”. Lalu Muhammad
bin Maslamah menjawab sebagai saksi bahwa seorang nenek dengan kasus tersebut
mendapat bagian (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Dapat
disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan
hadits, sebab beliau mengkhawatirkan adanya sahabat yang berbohong dalam
penyampaian redaksi hadits. Akan tetapi beliau tidak anti terhadap penulisan
hadits, bahkan untuk kepentingan tertentu hadits nabi ditulisnya.
b. Masa Pemerintahan Umar bin Khattab
Begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab. Dengan demikian
periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits. Pembatasan
tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan
nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan
yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah
tersebut anti periwayatan, hanya saja Beliau sangat selektif terhadap
periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus
dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang
diriwayatkan oleh Imam Malik. Ibnu Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj
al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras
menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang
membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan
seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang
memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar
kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti
periwayatan hadist, Umar r.a mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah
nabi pada penduduk negeri.
c. Masa Pemerintahan Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib
Sikap kehati-hatian sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab, juga
diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar
disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum yang
meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi
untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan
karena:
1) Agar tidak memalingkan perhatian
umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
2) Para sahabat yang banyak menerima
hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
D. Perkembangan Hadits Masa Tabi’in
Pengertian Tabi’in adalah orang islam yang bertemu dengan sahabat,
berguru dan belajar kepada sahabat, tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan
tidak pula semasa dengan beliau. Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali
kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama
menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M),
kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan
(wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah
ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya
disebut dengan zaman sahabat besar (Fazlur Rahman menyebut sahabat senior)
(Mudasir. 1999.93).
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat
besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar
yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang
masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah
periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan
hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M),
Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat
73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M) (Mudasir. 1999.94).
Sesudah masa Khulafaur rasyidin, timbulah usaha yang lebih
sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara
periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits
ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk meyelamatkan hadits dari
usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih
luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode khulafaur
rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan
hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang
paling menonjol, karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah
ditetapkan. Luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memacu munculnya
hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam
terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan
hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah
Umayyah.
Periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu
berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak
para sahabat yang menjadi guru mereka. Hanya persoalan yang dihadapi oleh
kalangan tabi’in yang berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini
al-Quran sudah dikumpulkan pada satu mushaf dan para sahabat ahli hadis telah
menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Sehingga para tabi’in dapat
mempelajari hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh bani ummayah
perluasan wilayah kekuasaan berkembang pesat dan juga semakin meningkatnya
penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut. Sehingga pada masa ini
dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (intisyar Ar-Riwayah lla Al
Amshar). Terdapat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan
hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis yaitu madinah
Al-Munawarah, Mekah Al-mukaramah, kufah, basrah, Syam, Mesir, magrib, andalas,
yaman dan khurasan. Pusat pembinaan pertama adalah madinah karena di sinilah
Rasullah SAW menetap dan hijrah serta membina masyarakat islam (Mudasir.
1999.94).
Ø Diantara para sahabat yang membina hadis di mekah adalah
sebagai berikut Mu’adz bin jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin
Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini
adalah mujahid bin Jabar, Ata’ bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, dan Ikrimah
maula Ibnu Abbas (Mudasir. 1999.94).
Ø Diantara para sahabat yang membina hadis di kufah ialah
Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Diantara para
tabi’in yang muncul disini ialah Ar-Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid An-Nakhai’,
Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Sya’ibi, Ibrahim Ankha’I, dan
Abu Ishak As-Sa’bi (Mudasir. 1999.95).
Ø Diantara para sahabat yang membina hadis di Basrah ialah
Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin Yasar,
Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said Al-Anshari. Diantara para tabi’in yang
muncul disini adalah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub As-sakhyatani,
Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du’amah As-sudusi, dan Hisyam
bin Hasan (Mudasir. 1999.95).
Ø Diantara para sahabat yang membina hadis di Syam ialah Abu
Ubaidah Al-Jarah, Bilal bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Mu’adz bin Jabal, Sa’ad
bin Ubadah, Abu darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyad bin
Ghanan. Para tabi’in yang muncul disini ialah salim bin abdillah al-muharibi,
Abu Idris Al-khaulani, Umar bin Hanna’I (Mudasir. 1999.95).
Ø Diantara para sahabat yang membina hadis di mesir ialah
Amr bin Al-as, Uqubah bin Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin Al-Haris.
Para tabi’in yang muncul disini ialah Amr bin Al-Haris, nKhair bin Nu’aimi
Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Jafar dan Abdullah bin Sulaiman
Ath-Thawil (Mudasir. 1999.95)
Ø Diantara para sahabat yang membina hadis di magrib dan
andalus ialah Mas’ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin haris bin asim Al-muzaid.
Para tabi’in yang munc ul disini adalah Ziyad bin An-Am Al-Mu’afil, Abdurrahman
bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’ah bin Ra’fi
dan Muslim bin Yasar (Mudasir. 1999.95).
Ø Diantara para sahabat yang membina hadis di Yaman adalah
Muadz bin jabal dan Abu Musa Al-Asy’an. Para tabi’in yang muncul disini
diantaranya adalah Hammam bin Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan Mamar
bin Rasid (Mudasir. 1999.95).
Ø Diantara para sahabat yang membina hadis di kharasan
adalah Abdullah bin Qasim Al-Aslami, dan Qasm biun sabit Al-Anshari, Ali bin
Sabit Al-Anshari, Yahyab bin Sabih Al-Mugari (Mudasir. 1999.95).
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah
terjadinya perang jamal dan perang suffin berakibat cukup panjang dan
berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam menjadi beberapa kelompok. Secara
langsung ataupun tidak pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hadis berikutnya, baik pengaruh yang bersifat negatif maupun yang
bersifat positif. Pengaruh yang bersifat negatif adalah munculnya hadis-hadis
palsu untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk
menjatuhkan posisi lawannya. Pengaruh yang bersifat positif adalah terciptanya
rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis
sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut (Mudasir. 1999.96).
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Adapun cara periwayatan hadits pada masa sahabat terbagi menjadi
dua yaitu: Periwayatan Lafdzi (Redaksi sama persis dengan Rasulullah) dan
Periwayatan Maknawi (Redaksi tidak sama persis akan tetapi makna&intinya
sama). Pada masa sahabat belum ada penulisan hadits secara resmi sebab
dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an dan umat islam lebih difokuskan untuk
mempelajari Al-Qur’an. Begitu juga pada masa Tabi’in, yang mengikuti jejak para
sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja pada masa ini
Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa tabi’in timbul usaha
yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Apalagi sejak
semakin maraknya hadits-hadits palsu yang muncul dari beberapa golongan untuk
kepentingan politik.
2. Tujuan
a. Mengetahui dan memahami
pengertian sejarah hadis mulai dari masa Rosulullah hingga masa thabi’in.
b. Mengetahui tata cara periwayatan
hadis pada masa sahabat.
DAFTAR RUJUKAN
· Abdullah, Hawash.
t.th. Perkembangan Ilmu Tasawuf & Tokoh-tokohnya di Nusantara,
Surabaya, Al-Ikhlash
· Al-Bukhari,
t.th. Sahih Al-Bukhari, Kairo, Al-Sya’b
· Azra, Azyumardi.
2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
&XVIII. Bandung, Mizan
· Braginsky, V.I.
1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu dalam Abad
17-19. Jakarta, INIS
· Fathurrahman,
Oman. 1999. Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdat al-Wujud, Kasus Abd Rauf
Sinkel pada Abad ke-17. Bandung, Mizan
· Hasjmi A.
Hasjmi. 1980. “Syekh Abdurrauf Syah Kuala, Ulama Negarawan yang Bijaksana”,
dalam Universitas Syah Kuala Menjelang 20 Tahun. Medan, Waspada
· http//www.SufiNews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar