BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, beliau tidak
meninggalkan wasiat tentang yang akan menggantikan posisi beliau sebagai
pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Tampaknya Nabi Muhammad SAW
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin itu sendiri untuk
menentukannya. Karena beliau sendiri tidak pemah menunjuk di antara sahabatnya
yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam, bahkan tidak pula
membentuk suatu dewan yang dapat menentukan siapa penggantinya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat bahkan
jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di
Balai Kota Bani Saidah Madinah untuk memusyawarahkan siapa yang akan dipilih
menjadi pemimpin. Dalam musyawarah tersebut cukup berjalan alot, karena dari
masing-masing pihak, baik dari Muhajirin maupun Anshar sama-sama merasa berhak
menjadi pemimpin umat Islam. Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyyah yang
tinggi, akhirnya Abu Bakar secara demokratis terpilih menjadi pemimpin umat
Islam menggantikan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Rasa semangat ukhuwah
Islamiyah yang dijiwai sikap demokratis tersebut dapat dibuktikan adanya
masing-masing pihak menerima dan mau membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat
Islam setelah Nabi Muhammad SAW.
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, beliau tidak
meninggalkan wasiat tentang yang akan menggantikan posisi beliau sebagai
pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Tampaknya Nabi Muhammad SAW
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin itu sendiri untuk
menentukannya. Karena beliau sendiri tidak pemah menunjuk di antara sahabatnya
yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam, bahkan tidak pula
membentuk suatu dewan yang dapat menentukan siapa penggantinya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat bahkan
jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di
Balai Kota Bani Saidah Madinah untuk memusyawarahkan siapa yang akan dipilih
menjadi pemimpin. Dalam musyawarah tersebut cukup berjalan alot, karena dari
masing-masing pihak, baik dari Muhajirin maupun Anshar sama-sama merasa berhak
menjadi pemimpin umat Islam. Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyyah yang
tinggi, akhirnya Abu Bakar secara demokratis terpilih menjadi pemimpin umat
Islam menggantikan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Rasa semangat ukhuwah
Islamiyah yang dijiwai sikap demokratis tersebut dapat dibuktikan adanya
masing-masing pihak menerima dan mau membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat
Islam setelah Nabi Muhammad SAW.
2. Rumusan Masalah
Menjelaskan tentang Masa Kemajuan dan Disintegrasi
Islam
3. Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk
menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.
4. Metode Penulisan
Kali ini penulis menggunakan
metode kepustakaan dan browsing internet Cara yang digunakan pada penelitian
ini adalah Studi Pustaka. Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang
berkaitan dengan penulisan makalah ini dan mencari hal-hal yang berkaitan
melalui internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kemajuan Islam
Masa
kemajuan islam 650-1000 M. Masa ini masa ekspansi, integrasi dan keemasan
islam. Dalam hal ekspansi, sebelum nabi muhammad wafat di tahun 623 M. Seluruh
semenanjung arabia telah tunduk ke bawah kekuasaan islam. Ekspansi
kedaerah-daerah di luar arabia dimulai dizaman khalifah pertama, Abu bakar
Al-Siddik.
Sayidina
Abu bakar menjadi khalifah di tahun 632 M[[1]] . tetapi dua tahun
kemudian meninggal dunia. Masanya yang singkat itu dipergunakan untuk
menyelesaikan perang riddah, yang dimbulkan oleh suku-suku bangsa arab yang
tidak mau tunduk lagi kepada madinah. lalu dilanjutkan oleh khlifah kedua, Umar
Ibn Al-Khattab (634-644 M). Di zamannyalah gelombang ekspansi pertama terjadi,
kota damaskus jatuh di tahun 635 M. Dan setahun kemudian, setelah tentara
binzantium kalah pertempuran di yarmuk, jatuh ke bawah kekuasaan islam.
Ekspansi di teruskan ke irak dan mesir. Irak jatuh di tangan islam pada tahun
637 M sedangkan, mesir jatuh di tangan islam pada tauhn 640 M[[2]] . Setelah irak jatuh ke
tangan islam, lalu dilanjutkan serangan di persia. Persia jatuh ditangan islam
pada tahun 641 M.
Di zaman Umar gelombang ekspansi
(perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh
tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di
pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan
memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan
'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandaria,
ibu kota Mesir,
ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
Al-Qadisiyah, sebuah kota
dekat Hirah di Iraq, jatuh tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia,
al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada
masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena
perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara
dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia.
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria,
Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang
perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran
gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga
yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga
mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun
hijrah.
Umar
memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir
dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak
menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan
meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah.
Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash,
Abdurrahman ibn 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil
menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali
ibn Abi Thalib.
Di masa pemerintahan Utsman (644-655 M),
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia,
Transoxania, dan Tabaristall berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama
berhenti sampai di sini.
Pemerintahan
Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya.
Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin
karena umumnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang
lemah lembut. Akhirnya pada tahun 35 H 1655 M, Usman dibunuh oleh kaum
pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah
satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman
adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang
terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang
menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah.
Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting,
Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak
dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan
bawahan. Harta kekayaan negara, oleh karabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol
oleh Usman sendiri.
Meskipun
demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegjatan yang
penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar
dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Setelah
Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai
khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia
menghadapi berbagai pergolakan. Tidak
ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah
menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh
Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran
mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali
sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah
diterapkan Umar.
Tidak
lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair
dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan
mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim.
Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya
mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan
tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini
dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam
pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan
Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan
dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan
dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya
perlawanan dari gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah
bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah
berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari
Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan
pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan
nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase),
tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya
golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali.
Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah
menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut) Ali, dan
al-Khawarij (oran-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak
menguntungkan Ali. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya
semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20
ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kedudukan
Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan.
Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu'awiyah semakin kuat, maka
Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam
kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan. Di
sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Mu'awiyah menjadi penguasa absolut
dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah
sebagai tahun jama'ah ('am jama'ah)! Dengan demikian berakhirlah masa yang
disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah
dalam sejarah politik Islam.
B. Masa Disintegrasi Islam
Masa
disintegrasi (1000-1250 M) dalam bidang politik sebenarnya telah mulai terjadi
pada akhir zaman bani umayyah, tetapi memuncak di zaman bani abbasiyah[[3]] . khalifah-khalifah bani
abbasiyah tetap diakui, tetapi kekuasaan dipengang oleh sultan-sultan Buwaihi.
Kekuasaan dinasti buwaihi atas bagdad kemudian dirampas oleh dinasti Saljuk.
Saljuk adalah seorang pemuka suku bangsa turki yang berasal dari Turkestan.
Saljuk dapat memperluas daerah kekuasaan mereka sampai ke daerah yang dikuasai
dinasti bawaihi. Dan semenjak itu sampai sekarang Asia kecil menjadi daerah
islam. Dengan jatuhnya asia kecil ke tangan dinasti saljuk, jalan naik haji ke
palestina bagi umat Kristen di eropa menjadi terhalang. Untuk membuka jalan itu
kembali Paus Urban II berseru kepada umat kristen di eropa di tahun 1095 M
supaya mengadakan perang suci terhadap islam. Perang salib pertama terjadi
antara tahun 1096 M dan 1099 M, perang salib kedua antara tahun 1147 M dan 1149
M yang diikuti lagi oleh beberapa perang salib lainnya, tetapi tidak berhasil
merebut palestina dari kekuasaan islam. Di abad duapuluh inilah baru palestina
jatuh ke tangan inggris sesudah kalahnya turki dalam perang dunia pertama.
Perpecahan di kalangan umat islam menjadi besar. Ekspansi islam di zaman ini meluas
ke daerah yang di kuasai binzatium di barat, ke daerah pedalaman di timur dan
afrika memalui gurun sahara di selatan. Dinasti saljikah meluaskan daerah islam
sampai ke asia kecil dan dari sana kemudian diperluas lagi oleh dinasti usmani
ke eropa timur. Di india Ekspansi islam diteruskan oleh dinasti Gaznawi.
Perang Salib (perang suci) ini terjadi pada tahun
1905, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan
perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis
yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang
memberatkan bagi Umat kristen yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana telah disebutkan,
peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah
peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara
Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz,
al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih
permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian
mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat
merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang
berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat
Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat
menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci
Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di
Eropa supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian dikenal dengan nama
Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.
1. Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa,
sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel,
kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan
Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka
berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini
mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun
yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di
Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait
al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya,
Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan
ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota
Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah
Raymond.
2. Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak,
berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M.
Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin
Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada
tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang
Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang
suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad
II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria.
Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak
berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri
pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian
dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah
di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah
merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di
Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat
memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan.
Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard
the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini
bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin,
namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak
berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian
antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah.
Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah
ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
3. Periode
Ketiga
Tentara Salib pada
periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha
merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan
dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki
Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil,
membuat penjanjian dengan Frederick.
Isinya antara lain Frederick
bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin
keamanan kaum muslimin di sana,
dan Frederick
tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya,
Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa
pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir
dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka
dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang
Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol,
sampai umat Islam terusir dari sana.
Walaupun umat Islam
berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian
yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya.
Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah.
Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah
belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat
Abbasiyah di Baghdad.[[4]]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masa kemajuan islam 650-1000 M. Masa ini masa ekspansi, integrasi dan
keemasan islam. Dalam hal ekspansi, sebelum nabi muhammad wafat di tahun 623 M.
Seluruh semenanjung arabia telah tunduk ke bawah kekuasaan islam. Ekspansi
kedaerah-daerah di luar arabia dimulai dizaman khalifah pertama, Abu bakar
Al-Siddik.
Sayidina Abu bakar menjadi khalifah di tahun 632 M . tetapi dua tahun
kemudian meninggal dunia. Masanya
yang singkat itu dipergunakan untuk menyelesaikan perang riddah, yang dimbulkan
oleh suku-suku bangsa arab yang tidak mau tunduk lagi kepada madinah. lalu
dilanjutkan oleh khlifah kedua, Umar Ibn Al-Khattab (634-644 M).
Masa disintegrasi (1000-1250
M) dalam bidang politik sebenarnya telah mulai terjadi pada akhir zaman bani
umayyah, tetapi memuncak di zaman bani abbasiyah. khalifah-khalifah bani
abbasiyah tetap diakui, tetapi kekuasaan dipengang oleh sultan-sultan Buwaihi.
Kekuasaan dinasti buwaihi atas bagdad kemudian dirampas oleh dinasti Saljuk.
Saljuk adalah seorang pemuka suku bangsa turki yang berasal dari Turkestan.
Saljuk dapat memperluas daerah kekuasaan mereka sampai ke daerah yang dikuasai
dinasti bawaihi. Dan semenjak itu sampai sekarang Asia kecil menjadi daerah
islam. Dengan jatuhnya asia kecil ke tangan dinasti saljuk, jalan naik haji ke
palestina bagi umat Kristen di eropa menjadi terhalang. Untuk membuka jalan itu
kembali Paus Urban II berseru kepada umat kristen di eropa di tahun 1095 M
supaya mengadakan perang suci terhadap islam.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
(UI Jakarta Press, 2008),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar