Senin, 13 Mei 2013

PERSOALAN TENTANG ETIKA



PENDAHULUAN

Mahasiswa yang pada dasarnya merupakan subjek atau pelaku di dalam pergerakan pembaharuan atau subjek yang akan menjadi generasi-generasi penerus bangsa dan membangun bangsa dan tanah air ke arah yang lebih baik dituntut untuk memiliki etika. Etika bagi mahasiswa dapat menjadi alat kontrol di dalam melakukan suatu tindakan. Etika dapat menjadi gambaran bagi mahasiswa dalam mengambil suatu keputusan atau dalam melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Oleh karena itu, makna etika harus lebih dipahami kembali dan diaplikasikan di dalam lingkungan mahasiswa yang relitanya lebih banyak mahasiswa yang tidak sadar dan tidak mengetahui makna etika dan peranan etika itu sendiri, sehingga bermunculanlah mahasiswa-mahasiswi yang tidak memiliki akhlaqul karimah, seperti mahasiswa yang tidak memiliki sopan dan santun kepada para dosen, mahasiswa yang lebih menyukai hidup dengan bebas, mengonsumsi obat-obatan terlarang, pergaulan bebas antara mahasiswa dengan mahasiswi, berdemonstrasi dengan tidak mengikuti peraturan yang berlaku bahkan hal terkecil seperti menyontek disaat ujian dianggap hal biasa padahal menyontek merupakan salah satu hal yang tidak mengindahkan makna dari etika. Perlu Anda ketahui bahwa realita banyaknya bermunculan para koruptor di Indonesia disebabkan oleh seseorang yang tidak memahami arti kata dari iman dan etika. Banyak orang yang beranggapan dan meyakini para koruptor yang ada sekarang adalah seorang yang dahulunya terbiasa melakukan tindakan menyontek di saat ujian tanpa merasa bersalah, lebih tepatnya mencontek memiliki makna yang sama dengan kecurangan. Jadi menyontek diibaratkan dengan korupsi mengambil hak seseorang tanpa izin dan meraih sesuatu tanpa memikirkan apakah cara yang digunakannya benar atau salah dan ini semua berhubungan dengan etika.
Apabila mahasiswa masih belum menyadari betapa pentingnya etika di dalam pembentukan karakter-karakter seorang penerus bangsa dan negara, akankah bangsa Indonesia untuk di masa yang akan datang di isi oleh penerus-penerus bangsa yang berakhlaqul karimah atau beretika?. Akan diletakkan dimanakah wajah Indonesia nanti apabila bangsa Indonesia dibangun oleh jiwa-jiwa yang penuh dengan kecurangan atau dengan akhlaq-akhlaq tercela?.


PEMBAHASAN

A.  PERSOALAN TENTANG NILAI ETIKA
1.    Apa yang seharusnya dilakukan
Etika, cabang Aksiologi yang mempersoalkan predikat nilai ”baik” dan ”buruk” dalam arti susila, atau tidak susila.
Sebagai masalah khusus, Etika juga mempersoalkan sifat-sifat yang menyebabkan seseorang berhak, untuk disebut susila atau bajik. Sifat-sifat tersebut dinamakan ”kebajikan” lawannya ”keburukan”.
2.    Ruang Lingkup Etika
Apabila kita mulai mempelajari etika, 2 hal yang perlu dikatakan :
a.      Apabila ditanya ”hasil apa yang diharapkan dari buku Filsafat ini”, mungkin akan dijawab antara lain : ”Saya mengharapkan untuk mempelajari bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik”.
b.      Apabila didesak lagi, mungkin akan dijawab antara lain : ”Saya ingin belajar bagaimana cara untuk berbuat baik dan menghindari keburukan”.
Banyak pembicaraan tentang Etika yang tidak pernah menyinggung masalah yang sebenarnya, karena banyak yang mendasarkan diri pada prinsip pembenaran yang sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada kefaedahan, pencegahan keburukan dan lain sebagainya.
Etika lebih menaruh perhatian pada pembicaraan tengtng prinsip pembenaran daripada tentang keputusan yang sungguh-sungguh telah diadakan.
Etika tidak akan memberikan kepada Anda arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang bagaimana caranya untuk hidup dengan bajik.
3.    Kesusilaan dan Ketidaksusilaan
Kesusilaan dan ketidaksusilaan tidak hanya bersangkutan dengan tingkah-laku dalam masalah seksual semata-mata. Mencuri, berbuat tidak adil, kejam dan sebagainya dapat dipandang sebagai tindakan orang yang tidak susila.
Suatu kenyataan bahwa persoalan tentang hidup manusia yang paling fundamental ini, masih begitu jauh dari penyelesaian, meskipun persoalan itu merupakan persoalan yang paling umum terjadi dan yang paling menarik perhatian.
4.    Arti etika
Etika dipergunakan dalam dua arti :
a.       Terlihat dalam pernyataan seperti ”Saya mempelajarai Etika”. Dalam penggunaan ini Etika dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian perbuatan, yang dilakukan orang-orang.
b.      Istilah Etika, terjadi bila orang mengatakan : ”Ia seoarang yang bersifat Etis”, ”Ia seorang yang adil”, atau ”Pembunuhan dan Bohong itu tidak susila”.
Dalam hal ini ”Etis” adalah suatu predikat yang dipergunakan untuk memperbedakan barang-barang, perbuatan-perbuatan, atau orang-orang tertentu dengan yang lain.
”Etis” dalam artin ini sama dengan ”susila” (moral).
Hendaknya diingat, untuk dinamakan bersifat susila tidak perlu sama dengan atau sesuai dengan kebiasaan yang tetap dari suatu kelompok manusia. Karena mungkin juga kita dapat mencap salahsatu diantara kebiasaan yang tetap itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak susila.
Etika sebgai ilmu munkin menyelidiki tentang: tanggapan kesusilaan. Etika sebaga Etika normatif bersangkutan dengan membuat tanggapan.
Dibedakan antara :
a.       Berbicara mengenai istilah etika,
b.      Berbicara dalam istilah etika.
a.       1) Etika Deskriptif
Ilmu pengetahuan (Etika) semata-mata bersifat deskriptif dan hanya berusaha untuk membuat deskripsi yang cermat. Etika deskriptif mungkin merupakan suatu cabang sosiologi, tetapi ilmu tersebut penting bila kita mempelajari Etika untuk mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik.
Ini membantu menghindari pandangan yang sempit, tetapi perbedaan yang besar di dalam praktek kesusilaan juga mengakibatkan timbulnya teori bahwa tanggapan kesusilaan itu melulu bersifat relatif terhadap kebudayaan yang di dalamnya orang mengadakan tanggapan tersebut.
Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan. Berhubung dengan itu, Ilmu ini tidak dapat membicarakan tentang ukuran-ukuran bagi tanggapan kesusilaan yang baik, meskipun kadang-kadang Etikda deskriptif mencampuradukkan antara menerima suatu tanggapan kesusilaan dengan kesebenarannya.
Singkatnya, Etika deskript hanya melukiskan tentang predikat dan tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan dipakai.
2) Etika Normatif
Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menganggapi atau menilai perbuatan. Menerangkan tentang apa yang seharusnya terjadi dan apa yang harus dilakukan, dan memungkinkan kia untuk mengukur dengan apa yang seharusnya terjadi.
Etika normatif bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang benar.
b.      1) Etika Kefilsafatan
Untuk mempertahankan pengertian Etika sebagai suatau Ilmu, tetapi menghindari untuk menjabarkannya menjadi sosiologi, maka ada orang-orang yang berbicara tentang Etika Kefilsafatan.
Analisa tentang apa yang orang maksudkan bilamana mempegunakan predikat-predikat kesusilaan. Analisa itu diperoleh dengan mengadakan penyelidikan tentang penggunaan yang sesungguhnya dari predikat-predikat yang terdapat di dalam pernyataan-pernyataan.

2) Etika Praktis
Dicontohkan dilema yang dihadapi oleh seorang dokter yang menghadapi pasien yang sedang sekarat.
Persoalannya :
-          Dokter dapat membunuh pasien, dengan demikian melepaskannya dari rasa sakit derita.
-          Timbul pertanyaan: ”Apakah baik bagi saya sebagai seorang dokter untuk membunuh pasien saya?”.
-          Diandaikan bahwa pasien itu minta dibunuh dan semua anggota keluarganya setuju.
-          Hidup adalah milik Tuhan, apa hak dokter untuk mencabutnya.
-          Tetapi bagaimana dengan kemungkinan berakhirnya rasa sakit yang berarti kebahagiaan, dengan ”membunuh” semua itu akan terjadi.
-          Dokter tidak berhak membunuh, bagaimanapun keadaan pasien tersebut.
Disinilah diperlulkan Etika Praktis.
5.    Persoalan Etika
a.       Prinsip apakah yang dapat ditetapkan, untuk ”dapat” membuat tanggapan kesusilaan?
(Dalam setiap persoalan Etika yang praktis, kesulitan yang dihadapi ialah untuk mencapai suatu keputusan mengenai perbuatna apa yang harus dilakukan). Ini merupakan persoalan yang ke-2 (b) dibawah ini, yaitu :
b.      Apakah perbuatan yang baik itu berati perbuatan yang dapat dibenarkan secara kesusilaan?
Catatan :
Apabila dalam persoalan 1 (a), perkataan dapat yang kedua ditiadakan, maka penyelidikannya dapat dipersempit menjadi bidang Etika Deskriptif; apabila dapat tersebut diubah menjadi seharusnya, kita bersangkutan dengan Etika Normatif. Dalam hal yang terakhir ini, kita dapat mengajukan pertanyaan ke-3 (c) dibawah ini, yaitu:
c.       Apakah arti ”seharusnya” dan apakah yang menjadi sumber keharusan ini.
Persoalan ke-2 (b) dapat dijawab secara dangkal dengan mengatakan bahwa suatu perbuatan adalah baik apabila perbuatan itu sesuai dengan prinsip kesusilaan. Yang berarti mmpersempit persoalan Etika seluruhnya. Banyak teorai Etika dewasa ini, mendekati persoalan dari suatu analisa tentang arti yang dikandung oleh predikat-predikat keseilaan, baik, benar, seharusnya, wajib; dan lawannya :
d.      Apakah tanggapan kesusilaan itu dapat diverifikasi, dan jika dapat bagaimana caranya?
e.       Arti apakah yang dikandung oleh predikat-predikat nilai itu.
- Mencakup pertanyaan mengenai arti ”seharusnya”.
6.    Tanggapan Kesusilaan Hanya Ungkapan Emosi?
”Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk dan tidak boleh dilakukan”.
Terdiri dari 2 pernyataan :
a.       ”Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk”.
b.      ”Pembunuhan tidak boleh dilakukan”.
Kalimat kognitif terdiri dari 2 macam :
a.       Kalimat kognitif yang kebenarannya tergantung pada arti yang dikandung oleh istilahnya atau kalimat analitis.
b.      Kalimat kognitif yang kebenarannya tergantung pada sesuatu pengamatan empirik atau indera, atau kalimat sintetis.
Contoh :
”Hujan Turun”, merupakan kalimat sintetis-empiris.
”Sebuah segitiga mempunyai tiga sisi”, merupakan kalimat analitis, dengan jalan definisi.
Tetapi apabila diajukan kalimat :
”Alangkah indah terbenamnya matahari”.
”Ini memuakkan”, di sini ada reaksi psikologis (emosional).
Kembali kita perhatikan kalimat :
”Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk”.
”Pembunuhan tidak boleh dilakukan”.
Faham positivisme akan mengatakan, kalimat yang pertama itu bersifat empiris, namun kalimat kedua tidaklah demikian, karena kalimat yang kedua itu hanya mengulangi apa yang telah terkandung di dalam kalimat yang pertama. Dengan jalan definisi ”keburukan” adalah ”sesuatu yang tidak boleh dilakukan”. Kalimat yang kedua, itu secara analitis diakibatkan oleh kalimat yang pertama.
Kita mengetahui bahwa ”keburukan (sesuatu yang buruk)” mengandung arti ”sesuatu yang tidak boleh dilakukan”.
Jika ada yang menunjukkan sesuatu yang ia katakan ”buruk” dan sekaligus mengatakan bahwa hal itu harus dilakukan, maka dikatakan bahwa:
1)      Apa yang dikatakan itu tidak merupakan keburukan.
2)      Dalam keadaan yang sangat khusus, apa yang dikatakan tidak benar-benar buruk.
Dan akan dikatakan bahwa apabila apa yang dikatakan itu benar-benar buruk, maka hal itu tidak boleh dilakukan. Tidak berarti bahwa ”buruk” dan ”tidak boleh dilakukan” itu scara analitis berhubungan, sehingga tidak dapat menolak yang satu dan menerima yang lain.
Bagaimana status kalimat:
”Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk”.
Di sini tidak ditanyakan apakah pernyataan itu benar atau salah. Yang ditanyakan ialah apakah pernyataan itu merupakan suatu kalimat analitis, ataukah sintetis.
Bagaimana cara orang menggunakan kalimat tersebut?
Jawaban atas pertanyaan ini dapaat memberikan suatu metode untuk mengadakan verifikasi, terhadap kalimat itu.
”Buruk” tidak merupakan bagian dari ”pembunuhan”. Mungkin pernyataan itu tidak bersifat analitis. Apakah sifatnya sintetis, artinya dapatkah pernyataan itu dikuatkan dengan jalan pengamatan empirik?
”Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk” itu mengandung arti, tetapi hanya sebagai suatu ungkapan emosi Anda. Ngeri, tidak suka, dan lain sebagainya, diungkapkan sebagai suatu ”tanggapan”. (Kattsoff, 1985 : Bab.XVI).

B.  PERSOALAN ETIKA TEORITIK DAN NORMATIF
1.    Persoalan Etika Teoritik.
a.      Etika teoritik membahas tentang asas-asas yang melandasi sistem kesusilaan.
Etika Praktik: Etika terapan membicarakan masalah-masalah kesusilaan yang konkrit.
Etika terapan membutuhkan banyak pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi manusia sehari-hari. Contoh: Masalah yang menyangkut pencemaran lingkungan tidak mungkin dapat semata-mata diselesaikan oleh ahli kesusilaan.
Suatu penalaran yang bersifat kesusilaan mencakup baik premise yang bercorak kesusilaan, maupun yang bercorak kenyataan empirik. Ditinjau dari segi teori mungkin saja ada penalaran yang semata-mata menggunakan premise yang bercorak kesusilaan, namun dalam kenyataannya jarang terdapat.
1)     Salah satu di antara persoalan yang terdapat dalam Etika Teoritik adalah berbentuk pernyataan. Apakah dapat dikatakan bahwa pada diri ummat manusia terdapat keseragaman asasi dalam hal keyakinan kemanusiaan? Apakah pada dasarnya manusia mempunyai pendirian yang sama tentang baik dan buruk? Tingkat pertama tentu akan mendapat jawaban ingkar. Memang setiap manusia itu mempunyai pendirian di bidang kesusilaan, tetapi pertanyaan mengenai mana yang baik mana yang buruk tidak memperolah jawaban yang sama di setiap tempat. Namun demi membela pendapat bahwa ada suatu kesusilaan yang bersifat ”alami” yang merupakan ciri khas mausia, perlu diajukan alasan-alasan kuat untuk membenarkannya.
Pertama. Kesimpulan yang bersifat kesusilaan, tidak hanya tergantung pada premise yang bercorak kesusilaan, tetapi juga pada premise empirik. Sehingga ada kemungkinan besar bahwa perbedaan yang terdapat dalam hal pendirian di bidang kesusilaan tidak terletak pada perbedaan keyakinan kesusilaan yang asasi, melainkan pada perbedaan pandangan terhadap/mengenai keadaan/kejadian yang bersifat empirik. Tetapi kemudian menarik kesimpulan kesusilaan yang berbeda berdasarkan perbedaan pandangan terhadap hal-hal yang bersifat empirik. Seandainya hal tersebut benar, hari depan ummat manusia adalah cerah. Dengan bertambah banyaknya pengetahuan kita yang bersifat ilmiah tentang keadaan/kejadian yang bersifat empirik, dan dengan usaha menyebarluaskan pengetahuan tersebut ke seluruh dunia, kiranya dapat diterapkan bahwa dalam hal pendirian kesusilaan ummat manusia akan saling sepakat.
Kedua. Diakui bahwa manusia berbeda keyakinan dalam bidang kesusilaan, dan dalam hal ini pendapat itu berkembang. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, manusia akan sampai pada pandangan kesusilaan (ideal) yang semakin sama.
Ketiga. Dikatakan pula bahwa memang di antara ummat manusia, kita dapati perbedaan dalam hal keyakinan kesusilaan yang untuk sementara belum dapat tumbuh saling mendekati, tetapi sesungguhnya perbedaan tersebut tidaklah sebesar yang disangka orang. Karena sesungguhnya apa yang mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah dan apa yang berbeda dalam suatu lingkungan kebudayaan yang lain, bukanlah nilai-nilainya sendiri, melainkan yang berubah dan yang berbeda itu ialah pandangan manusia tentang tata urutan nilai. Nilai-nilai yang dihargai tinggi dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu, biasanya juga ditentukan oleh lingkungan.
2)     Persoalan lain, ialah bersangkutan dengan kebebasan manusia dan persoalan determinisme. Determinisme mengatakan bahwa segala sesuatu sudah ditentukan berdasarkan hukum sebab-akibat, dan ini harus pula diterapkan dalam Etika.
Dalam hal ini harus diakui bahwa manusia mengira melakukan perbuatan secara bebas, namun keadaan tersebut bersifat semu.
Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan sepenuhnya ditentukan oleh pelbagai macam motif. Di samping itu watak kita ditentukan oleh asal0usul keturunan, lingkungan, dan lain sebagainya.
Di lain pihak pendapat lain mengatakan bahwa tidak mungkin ada perbuatan kesusilaan apabila orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan tadi. ”Ought implies can”.
Terdapat pelbagai bentuk Determinisme. Contoh: Determinisme Naturalistik, terutama didapati pad apenulis roman pada akhir abad ke-19. manusia dipandang sebagai hasil terakhir dari asal-usulnya dan dari lingkungannya.
-          Determinisme keekonomian, misal: Marxisme, gagasan yang dipunyai oleh manusia, perbuatan yang dilakukan ditentukan oleh keadaan ekonominya.
-          Determinisme Metafisik, misal pada Benedictus de spinosa, yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam seharah dunia berlangsung secara niscaya (mau tak mau pasti terdapat/terjadi) dan segala-galanya difahamkan sebagai Tuhan.
-          Determinisme keagamaan, yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang melakukan perbuatan apa saja itu (pada hakikatnya) adalah Tuhan. Contoh: Augustinus dan Calvin, yang menegaskan berhasilnya usaha penyelamatan jiwa manusia yang di dalamnya manusia turut ambil bagian, sepenuhnya hasil pemberian karunia oleh Tuhan.
Sedangkan yang termasuk tokoh Indeterminisme serta faham kebebasan manusia antara lain Immanuel Kant dan Jean Paur Sartre. Kant tidak memungkiri bahwa segala sesuatu yang tedapat dalam dunia, gejala-gejalanya ditentukan oleh berlakunya hukum sebab-akibat.
Tetapi sebaliknya, kita harus pula bertitik-tolak dari pandangan bahwa manusia itu merupakan makhluk kesusilaan, dengan pandangan dasar bahwa manusia it makhluk yang bebas.
Kant mengajarkan bahwa di samping dunia gejala, yaitu sebagaimana yang terhampar di depan kita, terdapat dunia yang adanya tidak tergantung pada manusia sebagai subjek pengetahuan. Ajaran yang demikian ini, menyebabkan ia dapat menyelesaikan persoalan kebebasan dan determinisme sebagai berikut:
Di dalam dunia gejala manusia sepenuhnya ditentukan oleh berlakunya hukum sebab-akibat sedangkan di dalam dunia yang adanya tidak tergantung dan diketahui atau tidak oleh manusia, manusia itu memiliki kebebasannya.
Sartre dan sebagian besar penganut Eksistensialisme mengakhui bahwa manusia itu sejak semula sudah ditentukan untuk berada di dalam situasi tertentu, yaitu:
a)    Tempat tinggal (My Place)
Tempat tinggal merupakan temat kita berada dan mempengaruhi struktur eksistensi kita
b)   Masa Lampau (My Past)
Masa lampau kita, yang tidak mungkin dapat kita hilangkan
c)    Lingkungan (My Environment)
d)   Sesama (My Fellowman)
e)    Kematian (My Death)[1]
Meskipun demikian, manusia itu seakan-akan dijatuhi hukuman dalam bentuk kebebasan (Condemnedto be free) dan sikap yag dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya. Meskipun manusia itu terikat oleh sistuasi yang di dalamnya ia berada, namun ia harus merencanakan sendiri kehidupannya. Rencana inilah yang harus dipertanggungjawabkan. Kesalahan dan atau ketepatan tergantung dalam hal melakukan pilihan.
b.      Apakah perbuatan kesusilaan tergantung pada pandangan dunia? Apakah tergantung pada pandangan dunia yang kita anut? Secara sepintas orang cenderung untuk meng-iyakan. Bukanlah perbuatan kita diarahkan oleh pemikiran kita tentang manusia dan dunia.
Contoh: Sebagai orang Islam kita akan memperlakukan sesama manusia sesuai dengan konsep Islam tentang manusia.
Namun sesungguhnya yang menjadi masalahnya, lebih rumit dari yang terfikir secara dangkal. Ternyata orang yang berlainan pandangan hidup, dan pandangan dunia,, ternyata dapat juga pada akhirnya mempunyai pandangan kesusilaan yang sama. Itu berarti:
1)      Pandangan dunia, merupakan sumber ilham, tetapi bukan merupakan sumber bahan keterangan bagi manusia.
2)      Dapat memberi daya kepada manusia untuk hidup secara baik, tetapi tidak mengatakan tentang apakah yang disebut baik itu.
Tetapi persoalannya adalah:
Perbuatan kesusilaan di samping ditentukan oleh pandangan tentang kenyataan empirik, juga oleh pandangan tata urutan nilai. Pandangan kita tentang tata urutan nilai tersebut sudah tentu ditentukan oleh pandangan dunia serta pandangan keagamaan kita.
Tetapi kenyataannya pandangan dunia yang berlainan dapat sampai pada pandangan tentang tata urutan nilai yang kurang lebih sama. Secara demikian dapat terjadi bahwa penganut Islam, Kristen, Budha, bahkan Humanisme, Marxisme sama-sama memberikan nilai pokok pada manusia sebagai makhluk yang berkepribadian dan yang meiliki kebebasan.
Tetapi juga sering terjadi bahwa perbedaan dalam hal padnagan kesusilaan tergambar dalam pandangan dunia yang berlainan. Disebabkan karena baik pandangan kesusilaan, maupun pandangan dunia masing-masing merupakan kebulatan sendiri-sendiri, sehingga mengakibatkan perbedaan yang besar apabila yang mendapat titik berat ialah bagian-bagian tertentu dalam pandangan dunia yang bersangkutan.
Catatan:
Pandangan Dunia (Weltanschauung) yang dimaksud adalah cara manusia memandang, serta memberi tanggapan terhadap dunia serta maknanya dan terhadap kehidupan mausia.
Persoalan terpenting yang terdapat dalam Etika Teoritik ialah bagaimana cara orang menyusun sistem kesusilaannya. Dengan kata lain, yang dipertanyakan ialah mengenai dasar-dasar sisterm tersebut. Apakah yang menjadikan suatu perbuatan atau suatu maksud tertentu, merupakan perbuatan dan maksud yang baik. Apakah kenikmatan hidup, faedah, wajib hidup, dan lain-lainnya.
Sesungguhnya tidak ada satu pun sistem kesusilaan yang dapat menggantikan/menyisihkan tanggung jawab pribadi sesorang. Oleh karena itu Filsafat Kesusilaan (Etika) merupakan suatu bidang yang secara sadar atau tidak harus diusahakan oleh setiap orang.
c.      Disamping ada Etika individual yaitu Etika yang menyangkut manusia sebagai perorangan saja, ada Etika sosial yang menyangkut hubungan antar perorangan.
Di samping Etika membicarakan peningkatan kualitas manusia perorangan, juga mempersoalkan umpamanya hubungan yang ada di lingkungan keluarga, problema perang, dan sebagainya.
Tetapi dua bagia Etika tersebut tidak dapat dipisahkan, walaupun dapat dibedakan. Bahkan pembedaannya sukar diterapkan. Sebab perorangn itu selalu tetap perorangan dalam masyarakat. Di lain fihak manusia sebagai ”Aku” yang unik, dan eksistensi, juga tidak ada seorang pun yang berdiri sendiri.
Demikianlah tetap dibedakan Etika Individual sebagai ajaran tentang sikap tingkah-laku perbuatan yang baik bagi perorangan dan Etika Sosial sebagai ajaran yang sama bagi perorangan sebagai bagian dari kesatuan yang lebih besar.
Masalah yang Timbul Dalam Etika Sosial.
1)      Tujuan Etika itu memberitahukan, bagaimana kita dapat menolong manusia di dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang Etikus Sosial tidak hanya harus tahu norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan yang tersebut tadi, dan sebab-sebab timbulnya kebutuhan tadi.
2)      Dalam Etika Sosial lebih mudah timbul beragam padnagan dibandingkan Etika Individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada keadaan yang konkrit, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu melakukan kebaikan.
Dalam kenyataan terbukti bahwa tidak hanya ada satu kewajiban, melainkan berbagai kewajiban. Sebabnya, di dunia ini tidak hanya satu, tetapi ada beragam norma.
Wajib yang beragam itu tidak terlepas satu sama lain, tetapi bersatu dan berkaitan dan membentuk sistem hirarki norma. Inilah yang dicoba untuk memecahkan persoalan apabila ada benturan norma atau benturan kewajiban. Pengetahuan dan kesadaran terhadap hirarki mana yang lebih tinggi sangat diperlukan dalam rangka ini.
Pada umumnya, yang mempunyai nilai kebenaran lebih ”besar”, ”luas”, tingkatannya lebih tinggi.

1.      Persoalan Etika Normatif
Etika Normatif, sebenarnya merupakan sebuah aturan yang mengarahkan secara konkrit, tentang bagaiamana seharusnya tingkah laku.
Konsep keadilan itu baik, persahabatan itu baik, kebencian, permusuhan itu buruk yang semuanya masih bersifat abstrak universal, memerlukan penjabaran  kriterianya.
Persoalan yang timbul adalah analisa meta-etika yang menanyakan relevansi Etika normatif, dalam kedudukannya sebagai Etika makro. Pengalaman mengajarkan begitu nilai dasar dinormakan, maka akan kehilangan makna. Apakah pada dasarnya nilai-nilai dasar tidak membutuhkan ”pelembagaan” khusus.
Kalau kesan tersebut benar, sepatutnya kedudukan Etika normatif ditinjau kembali sebagai pedoman.
Persoalan baru yang muncul, atas dasar apa perbuatan manusia dinilai. Manusia tidak dapat hidup tanpa pedoman. Benturan antara kebutuhan terhadap Etika Normatif dengan keterbatasannya mengisyaratkan adanya kaitan meta-etika dalam persoalan Etika Normatif.
2.      Persoalan yang ingin dipecahkan adalah kenyataan bahwa masalah meta-etika memang tidak selalu menjamin kelurusan Etika Normatif, tetapi paling tidak ia tetap berfungsi sebagai petunjuk. Khususnya ketika suatu nilai dasar, sudah mulai dibuat sebagai norma yag tertutup. Etika Normatif yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk, menjadi bergerak ke arah sebaliknya.
Persoalan lain adalah menyangkut datangnya nilai dasar itu sendiri.
a.      Tinjuan Teori-teori Dasar Etika Normatif
1)      Ditinjau asal kejadiannya, Etika Normatif berkisar dalam dua pola dasar.
Pertama:
Teori Deontologis (Yunani: Deon, yang diharuskan, yang wajib) mengatakan bahwa betul salahnya tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja waib.
Kedua:
Teori Teleologis (Yunani: telos, Tujuan) mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan justru tergantung dari akibat-akibatnya: kalau akibatnya baik, boleh atau bahkan wajib melakukan, kalau akibatnya buruk, tidak boleh.
Ketentuan-ketentuan:
Teori Deontologis, kelemahannya justru pada sifat mengharuskannya yang tidak dapat ditawar-tawar. Tentu saja kaidah seperti itu hanya akan menghilangkan keluwesan dalam menanggapi perubahan situasi, atau perkembangan waktu. Ekstrimnya, telah mendidik manusia bersikap fanatisme buta. Di samping itu teori Deontologis tidak mampu memecahkan dilema etis. Contoh: Jangan membunuh orang lain.
Lalu bagaimana kalau orang itu gila, mengamuk dan membunuh banyak orang. Situasinya hanya mengharuskan satu pilihan, orang itu harus dibunuh.
Kelemahan Teori Teleologis
-     Menghilangkan dasar yang membawa kepastian. Setiap alternatif baru yang mnguntungkan (akibatnya) adapat diakui sebagai normanya.
-     Tidak mempunyai ketegasan
-     Mudah terjebak pada kaidah untuk menghalalkan segala cara.
Sehingga merampok, membunuh, memperkosa dapat dibenarkan apabila tujuannya baik.
Antara teori deontologis dengan teori teleologis, saling dapat mengisi kelemahan masing-masing. Situasi khusus dari teori teleologis, dapat dijadikan dasar pertimbangan, interprestasi dari deontoligs. Sebaliknya, kekhasan deontologis dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan teleologis, agar kepastian dalam menaggapi realitas dapat ditemui.
2)      Ditinjau dari sudut aspirasinya, ada dua pokok yang dapat digolongkan:
Pertama:
Sistem Etika yang dibangun dari ”aspirasi atas”, disusun dari sesuatu yang transenden yang telah diakui kekuatan dan kebenarannya. Vertikal dan berlakuya mutlak. Sering ditemui dalam Etika keagamaanm yang melibatkan Tuhan dalam kerangka moralnya. Model ini mempunyai kelebihan dalam menjawab batas defintif kemanusiaan, yaitu maut dan kehidupan sesudahnya. Disebut ”Heteronomos” (Adam Schaaf),- Adanya faktor luas kekuatan manusia manusia yang ikut campur dalam memecahkan problem manusia.
Kedua:
Sistem etika yang disusun melalui ”aspirasi bawah”.
Yang menjadi landasan dalam fenomena dan realita eksistensi manusia. Menurut sistem ini tidak mungkin manusia, akan tepat mengarahkan dirina, jika ia tidak berangkat dari pengalaman hidupnya. Disebut ”Autuonos” melalui ”experience vacue” (Bergson).
Persoalan :
Dari sudut agama, etika heteronomos tidak ada masalah. Soalnya menjadi lain dengan tinjauan filosofik.
-          Tidak berlaku bagi orang yang tidak beriman
-          Apakah kehendak Tuhan itu.
-          Terperangkap dalam Irasionalisme.
Sistem Etika Autonomos, terdapat kelemahan:
-          Kecenderungan humanisme mutlak yang menonjolkan akal, sehingga cederung menhilangkan dimensi transendental.
-          Rasionalisasi yang menghilangkan aspek batiniah.
Pemecahan :
Sistem Etika yang bersendikan rasionalitas mengadung risiko kerelativan dalam berlakunya. Hanya soalnya bagaimana Etika Keagamaan tidak terjebak pada sikap irasionalitas. Kerelativan tersebut dapat dihilangkan dengan sendi-sendi transendental.
b.      Alternatif Sistem Etika Normatif
Problem Umum:
1)      Sejauh mana Etika Normatif mencerminkan nilai dasarnya, sehingga terbentuk peta norma moral yang bukan saja merupakan deretan rumus-rumus yang disodorkan secara baku, begitu saja. Melainkan hasil olahan nilai dasar dan disajikan secara bijaksana.
2)      Sistem Etika, harus menghindarkan pengertian utopis (Idealisme Abstrak) yang terputus dari aspirasi kenyataan. Bagaimana nilai dasar dapat diimplementasikan dalam situasi Nyata.
3)      Nilai-nilai sebagai aspirasi yang meliputim dan menjiwai norma. Dalam pelaksanaannya diperhitungkan syarat pendukung, kemampuan, situasi kondisi pelaksanaan.







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.        Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.

2.        Etika Islam merupakan pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara etika Yunani dan etika yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan sebuah bentuk baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak sebagai konsep-konsep praktis menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian etika.

3.        Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa.

4.        Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia.

5.        Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Zubair,ahmad charris.1995.kuliah Etika.Jakarta:PT.Raja Grafindo persada.


[1] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, hal.481-553

Tidak ada komentar: