PENDAHULUAN
Filsafat selalu lahir
dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang
biasanay meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat
tahan uji. Dengan demikian, filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke
krisis yang lain. Ini berarti bahwa manusia yang berfilsafat senantiasa
meninjau kembali dirinya.[1]
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Eksistensialisme
Kata
dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari kata latin ex yang berarti keluar dan sistere yang
berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein. Da berarti di
sana, sein berarti berada. Berada bagi manusia selalu
berarti di sana, di tempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat.
Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, berasatu dengan alam jasmani.
Akan tetapi, bertempat bagi manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu
atau pohon. Manusia selalu sadar akan tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati.
Ini berarti suatu kesibukan, kegiatan, melibatkan diri. Dengan demikian,
manusia sadar akan dirinysa sendiri. Jadi, dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar tentang dirinya sendiri;
ia berdiri sebagai aku atau pribadi.[2]
Sifat
Materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme. Yang
dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada
di dunia. Kata berada pada mausia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu.
Untuk menjelaskan arti kata berada bagi manusia, aliran eksistensialisme
mula-mula menghantam materialisme.[3]
Eksistensialisme
juga lahir sebagai rekasi terhadap idealisme. Materialisme dan idealisme adalah
dua pandang filsafat tentang hakikat yang ekstrem. Kedua-duanya berisi
benih-benih kebenaran, tetapi kedua-duanya juga salah. Eksistensialisme ingin
mencari jalan keluar dari kedua eksremitas itu.
B.
Salah
Satu Tokoh Filsafat Eksistensialisme
Friedrich
W. Nietzsche
1. Biography
Ia
dilahirkan di Röcken dekat Lützen,
15 Oktober 1844 - Weimar, 25 Agustus 1990. Friedrich W. Nietzsche adalah
seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks0teks
kuno. Orang tuanya adalah pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849)
dan istrinya bernama Franziska, yang nama lajangnya Oehler (1826-1897). Ia
(Nietzsche) diberi nama untuk menghormati kaisar Prusia Freidrich Wilhelm IV
yang memiliki tanggal lahir yang sama. Adik perempunannya, Elisabeth,
dilahirkan pada 1846. Setelah kematian ayahnya pada 1849 dan adik laki-lakinya
Ludwig Joseph (1848-1850), keluarganya pindah ke Naumburg dekat Saale.
Filsafat
Nietzsche adalah filsafat cara memandang “kebenaran”, dikenal dengan istilah
filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai “sang pembunuh Tuhan”
(dalam Also Sprach Zarathustra).
Ia
memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat pada zamannya (dengan peninjauan
ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertunggaller Werten) yang sebagian besar
dipengarhui oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu pada
paradigma kehidupan setelah kematian sehingga menurutnya anti dan pesimis
terhadap kehidupan_. Walaupun demikian, dengan kematian Tuhan berikut paradigm
kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah
filosofi nihilisme. Justru sebaliknya, yaitu sebuah filosofi untuk menaklukkan
nihilisme.[4]
(Überwindung der Nihilismus)
dengan menitai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan manusia sebagai manusia
purna Übermensch dengan
kehendak untuk berkuasa (der Wille zur
Macht).[5]
2. Tentang Ubermensch
- “Saya
bukan seorang mausia, saya adalah sebuah dinamit!”
- “Yang
penting bukanlah kehidupan kekal (das
ewige Leben), melinkan kekalnya ‘yang menghidupkan’ (die ewige Lebendigkeit)!”
- “Tuhan
sudah mati”
Gagasan utama
dari Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa (will to power), dan salah satu
cara untuk menunjukkan kehendak untuk berkuasa ini diungkapkan melalui
gagasannya tentang ubermensch
(overman atau superman). Ubermensch
merupakan suatu tujuan hidup manusia di dunia ini agar mereka kerasan.
Melihat dari
segi bahasa, kata uber pada ubermensch
mempunyai peran yang menentukan dalam membentuk seluruh makna ubermensch, yaitu kehendak untuk
berkuasa sebagai semangat untuk mengatasi atau motif-motif untuk mengatasi
diri. Dengan demikian akan lebih tepat apabila ubermensch diartikan sebagai manusia unggul atau manusia atas. Ubermensch adalah cara manusia
memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok
ke seberang dunia sehingga Nietzsche tidak lagi percaya akan bentuk nilai
adikodrati dari manusia dan dunia, dan pemberian makna hanya dapat dicapai
melalui ubermensch. Ubermensch merupakan suatu bentuk
manusia yang menggap dirinya sebagai sumber nilai. Manusia yang telah mencapai ubermensch adalah manusia yang selalu
mengatakan “ya” pada segala hal dan siap menghadapai tantangan, yang mempunyai
sikap selalu mengafirmasikan hidupnya, dan tanpa itu ubermensch tidak mungkin akan tercipa. Jadi, ubermensch tidak pernah mengyangkal ataupun gentar dalam menghadapi
berbagai dorongan hidupnya yang dahsyat.[6]
Nietzsche juga
percaya bahwa dengan berhadapan dengan konflik, manusia akan tertantang dan
segala kemampuan yang dimilikinya dapat keluar degnan sendirinya secara
maksimal. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Nietzsche sangat gemar
sekali dengan kata-kata peperangan, konflik, dan sebagainya yang dapat
membangkitkan semangat manusia untuk mempunyai kehendak berkuasa. Ia percaya
bahwa jalan manusia menuju ubermensch
dan langkah meninggalkan satatu kebinatangannya selalu dalam keadaan bahaya.
Dan manusia adalah makhluk yang tidak ada henti-hentinya menyeberang atau
transisional (Nietzsche mengatakan bahwa kedudukan manusia berada di
tengah-tengah statu kebinatangan dan ubermensch).
Dalam ubermenscih, yang dibutuhkan adalah kebebasan dan aku ingin berkuasa.
Ukuran keberhasilan adalah perasaan akan bertamah nya kekuasaan. Sekalipun
demikian, tetap saja ubermensch hanya
dapat dicapai dengan menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki manusia secara
individual.
Ubermensch
hanya dapat dicapai melalui kehendak untuk berkuasa sehingga manusia mempunyai
kemampuan untuk menciptakan dan mengatasi masalahnya tanpa harus bergantung
pada moral dan agama. Dalam membahas ubermensch,
kita harus mengungkapkan dua moral dasar yang ada di dalam manusia, yaitu moral
budak dan moral tuan. Manusia yang ingin mencapai ubermensch harus mengarahkan moralnya pada moral tuan.[7]
3. Ubermensch dari Sudut Pandang
Eksistensialisme
Eksistensi
adalah cara manusia berada di dalam dunia dan keberadaannya bersama dengan
ada-ada yang lainnya dan ada-ada yang lainnya itu menjadi berarti karena adanya
manusia.
Tujuan
utama adalah menjelmakan manusia yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih
berani, dan yang terpenting adalah bagaimana mengangkat dirinya dari kehanyutan
dalam massa. Kehanyutan dalam massa adalah manusia yang ingin mencapai ubermensch haruslah mempunyai jati diri
yang khas, yang sesuai dengan dirinya, yang ditentukan oleh dirinya, tidak
mengikuti orang lain atau norma[8]
dan nilai yang berlaku dalam masyarakat atau massa pada umumya. Manusia harus
berani menghadapi tantangan yang ada di depan mereka dengan menggunakan
kekuatannya sendiri. Nietzsche pada kesempatan lain ingin mengusulkan untuk
dibentuk suatu seleksi, yaitu membentuk manusia atas atau manusia unggul dengan
cara eugenika. Dia mengatakan bahwa manusia unggul baru dapat dicapai apabila
ada perpaduan yang harmonis antara kekuatan, kecerdasan, dan kebanggaan.
Dalam
kesempatan lain, Nietzsche mengungkapkan bahwa persamaan hak atau persamaan
antara bangsa serta asas demokrasi merupakan suatu gejala bahwa masyarakat
telah menjadi busuk. Tidak akan pernah ada persamaan hak karena menusa
mempunyai cirri-ciri unik yang individual, dan manusia yang unggul ataupun
bangsa yang unggul harus menguasai manusia atau bangsa yan glemah sehingga
Nietzsche mendukung peperangan dan mengutuk perdamaian. Perdamaian boleh
terjadi, tetapi untuk waktu yang tidak lama, seperti yang diungkapkannya dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu, “Kau
harus cinta perdamaian sebgai alat untuk peperangan-peperangan baru dan masa
damai yang singkat lebih baik ketimbang yang panjang.
Dari
uraian di sini , terlihat bahwa Nietzsche sangat mengagunkan konflik dan
peperangan. Jadi, manusia atau bangsa harus dipimpin oleh bangsa tau manusia
yang unggul atau manusia atas, dan tidak akan pernah ada kesamaan hak karena
doktrin kesaman hak itu merupakan perlindungan bagi golongan yang lemah agar
tidak diserah atau dijajah oleh bangsa yang unggul, seperti semboyan yang terus
diteriakkan adalah laissez-faire pada masyarakat demokratis, yaitu mereke yan
gmerindukan kesamaan hak adalah sebenarnya orang-[9]orang
pengecut. Doktrin bangsa yang unggul adalah yang dipakai oleh Adolf Hitler
dalam Nazisme. Untuk mempertegasnya, perlu diungkapan apa yang telah dikatakan
Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra,
yaitu Sebab bagiku beginilah bunyi keadilan: Manusia tidaklah sama. Tidak pula
mereka akan menjadi sama.
Nietzsche
mengatakan dalam Also Sprach Zarathustra,
yaitu “Jadilah manusia atas, ibarat samudra luas yang tidak akan luntur karena
harus menampung arus sungai yang keruh. Manusia harus terus-menerus melampaui
dirinya sendiri, terus-menerus mencipta.” Dilanjutkan dalam bagian lain dalam
buku yang sama, yaitu Sudah tiba waktunya
bagi manusia untuk menentukan tujuan baginya sendiri. Sudah tiba saatnya bagi
manusia untuk menanam bibit harapannya yang seunggul-unggulnya.
Dari
ujaran Zarathustra diatas, dapat diungkapkan bahwa Nietzsche percaya bahwa
manusia unggul selalu aktif dan kreatif yang tidak akan pernah terpengaruh
dengan lingkungan sekitarnya.
Neitzsche
mengatakan bahwa hidup adalah kenikmatan yang harus dihayati sedalam-dalamnya.
Dalam Zarathustra dikatakan juga bahwa manusia adalah unggul, asalkan ia mau
terus-menerus menjulangkan gairahnya setinggi-tingginya.[10]
Nietzsche
terus mengungkapkan pentingnya keberanian yang harus dimiliki oleh manusia atas
atau manusia unggul. Manusia unggul harus berani menghadapi segala tantangan
yang ada di depan, dan manusia harus berani menderita guna mencapai tujuan
hidupnya, yaitu mencaai ubermensche,
bahkan keberanian itu harus ditunjukkan dalam menghadapi maut dengan
diungkapkannya semboyan Matilah pada
Waktunya, kematian itu datangnya harus disambut seperti kita menyambut
kelahiran atau kebahagiaan.
Ungkapan
Nietzsche yang bisa menjadi rengungan kita adalah setiap orang mempunyai tempat
sendiri dalam kehidupan ini, yaitu sesuai dengan kemampuannya masing-masing
(terlihat ada pengaruh dari Zen Buddhisme tentang konsep kekosongan atau
kesunyian).
Untuk
menjadi ubermensch, manusa haruslah
menyadari siapa dirinya dan karenanya manusia juga harus mengetahui bahwa
manusia sebelumnya adalah engkau. Ketika manusia telah sadar akan kemampuannya,
ia telah menjadi aku. Aku lahir sebelum engkau. Dan sejak engkau lahir, manusia
menjadi tak pasti, ia terus-menerus membentuk dirinya seolah-olah menuju
kepastian dan kemantapan, tetapi hal ini mustahil karena ketidak pastian dan
ketidakmantapan itulah. Akan tetapi, karena dalam keadaan khaos yang dihayati
itulah,[11]manusia
menjadi kreatif serta bisa bercita-cita setinggi-tingginya, dan oleh karena
itu, ia harus cinta akan kehidupan.
Jika
manusia tidak mempunyai cita-cita atau keinginan untuk menjadi unggul,
Nietzsche sangat jengkel pada mereka yang selalu mengharapkan belas kasihan
orang lain karena mereka tidak mempunyai rasa malu. Ia mengatakan bahwa menjengkelkan
untuk memberi mereka sesuatu, tetapi menjengkelkan juga untuk tidak member
mereka apa-apa. Dan seperti telah diungkapkan di atas bahwa manusia yang unggul
adalah manusia yang mempunyai keberania untuk memusnahkan nilai-nilai lama,
seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche berikut ini:
Siapa
pun yang hendak menjadi creator dalam kebaikan dan keburukan, sesungguhnya, ia
lebih dahulu harus menjadi pemusnah dan pendobrak segala nilai.
Jadi, jelaslah
bahwa seorang creator harus berani menyatakan apa yang menurutnya benar.
Adakalanya kebenaran sungguh pahit untuk dinyatakan. Akan tetapi, kebenaran
harus diungkapkan sebab kebenaran tidak bisa dipendam dan disembunyikan agar
tidak berbalik menjadi racun yang membinasakan. Orang yang bijaksana niscaya
tidak akan ingkar terhadap kebenaran serta sanggup mengungkapkannya, sebab
(menurut Nietzsche) Diam adalah lebih
buruk, semua kebenaran yang disembunyikan akan menjadi racun.
Pada akhir
cerita Also Sprach Zarathustra, diungkapkan
bahwa Nietzsche tidak menginginkan penganut-penganutnya untuk terus
mengikutinya. Ia menginginkan manusia mencari jalannya sendiri, mencari jalan
hidupnya sendiri. Bahkan, ia menginginkan untuk terus ditentang dan dilawan
oleh para pengikutnya.[12]
Nietzshce
mengekspor dengan dahsya diskursus-diskursus materi eksistensialisme
(kebebasan, kematian, rasa takut khawatir, penderitaan, mimpi-mimpi manusia,
kondisi keduniaan (meruang dan mewaktu/kesejarahan). Ajaran Nietzsche
berpangkal dari penghayatannya akan manusia yang konkret dan kehidupannya.
Ajaran utama Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa (wili to power) yang dapat ditempuh dengan mencapai suatu cita-cita
manusia unggul atau ubermensch. Hal
ini menegaskan bahwa eksistensi manusia adalah kehendaknya (desire or will) yang mengatasi rasio sadar dan tertutup. Nietzsche
memang merupakan semangat yang melampaui zamannya (rasionalitas modern).
Cara memcapai
manusia unggul adalah dengan tiga komponen dasar, yaitu harus mempunyai
keberanian, kecerdasan, dan kebanggaan. Mereke harus berani karena mereka harus
berani menghadapi kehidupan ini, baik kebahaigaan maupun penderitaan. Nietzsche
menegaskan bahwa dengan penderitaan, manusia akan mencapai[13]potensi
yang maksimal. Dengan dihadapkan dengan konflik, mausia akan dapat dengan baik
mengeluarkan segala potensi dan kemampuannya, dan ini akan membatu manusia
untuk menjadi ubermensch.
Konsep ubermensch inilah yang dapat dilihat
sebagai suatu gagasan yang bernilai eksistensial bagi keberadaan manusia yang
berada di dunia ini. Konsep ubermensch
inilah yang menjadi apai yang menyala-nyala, berkobar-kobar dalam jiwa
Neitzsche sehingga ia produktif menghasilkan karya-karya yang mengguncang.
PENUTUP
Kesimpulan
Eksistensi
adalah Kata dasar eksistensi (existency)
adalah exist yang berasal dari kata
latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri
dengan keluar dari diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman
disebut dasein. Da berarti di sana, sein
berarti berada. Berada bagi manusia
selalu berarti di sana, di tempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat.
Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, berasatu dengan alam jasmani.
Salah
satu tokohnya yaitu, Friedrich W.
Nietzsche mengungkapkan dengan Ubermensche,
Eksistensi
adalah cara manusia berada di dalam dunia dan keberadaannya bersama dengan
ada-ada yang lainnya dan ada-ada yang lainnya itu menjadi berarti karena adanya
manusia.
Tujuan
utama adalah menjelmakan manusia yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih
berani, dan yang terpenting adalah bagaimana mengangkat dirinya dari kehanyutan
dalam massa. Kehanyutan dalam massa adalah manusia yang ingin mencapai ubermensch haruslah mempunyai jati diri
yang khas, yang sesuai dengan dirinya, yang ditentukan oleh dirinya, tidak
mengikuti orang lain atau norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat atau
massa pada umumya
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir.
Prof.Dr.H.Ahmad, 2003. Filsafat Umum Akal
dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya
Sofyan,
M.si Drs. Ayi, 2010, Kapita Selekta Filsafat, Bandung:
Pustaka Setia
[1]
Prof.Dr.H.Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2003, hal 219
[2]
Ibid hal.218
[3] Ibid hal.219
[4]
Drs. Ayi Sofyan, M.si, Kapita Selekta Filsafat, Bandung: Pustaka
Setia, 2010, hal.188
[5] Ibid hal.189
[6]
Ibid hal.190
[7]
Ibid hal.191
[8]
Ibid hal. 192
[9]
Ibid hal. 193
[10]
Ibid hal 194
[11]
Ibid hal.195
[12]
Ibid hal.196
[13]
Ibid hal.197
Tidak ada komentar:
Posting Komentar