Senin, 13 Mei 2013

FILSAFAT EKSISTENSIALISME



PENDAHULUAN

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanay meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian, filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Ini berarti bahwa manusia yang berfilsafat senantiasa meninjau kembali dirinya.[1]


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Eksistensialisme
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari kata latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti di sana, di tempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, berasatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu atau pohon. Manusia selalu sadar akan tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati. Ini berarti suatu kesibukan, kegiatan, melibatkan diri. Dengan demikian, manusia sadar akan dirinysa sendiri. Jadi, dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi.[2]
Sifat Materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme. Yang dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada mausia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu. Untuk menjelaskan arti kata berada bagi manusia, aliran eksistensialisme mula-mula menghantam materialisme.[3]
Eksistensialisme juga lahir sebagai rekasi terhadap idealisme. Materialisme dan idealisme adalah dua pandang filsafat tentang hakikat yang ekstrem. Kedua-duanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi kedua-duanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dari kedua eksremitas itu.



B.     Salah Satu Tokoh Filsafat Eksistensialisme
Friedrich W. Nietzsche
1.      Biography
Ia dilahirkan di Röcken dekat Lützen, 15 Oktober 1844 - Weimar, 25 Agustus 1990. Friedrich W. Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks0teks kuno. Orang tuanya adalah pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) dan istrinya bernama Franziska, yang nama lajangnya Oehler (1826-1897). Ia (Nietzsche) diberi nama untuk menghormati kaisar Prusia Freidrich Wilhelm IV yang memiliki tanggal lahir yang sama. Adik perempunannya, Elisabeth, dilahirkan pada 1846. Setelah kematian ayahnya pada 1849 dan adik laki-lakinya Ludwig Joseph (1848-1850), keluarganya pindah ke Naumburg dekat Saale.
Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang “kebenaran”, dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai “sang pembunuh Tuhan” (dalam Also Sprach Zarathustra).
Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat pada zamannya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertunggaller Werten) yang sebagian besar dipengarhui oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu pada paradigma kehidupan setelah kematian sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan_. Walaupun demikian, dengan kematian Tuhan berikut paradigm kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya, yaitu sebuah filosofi untuk menaklukkan nihilisme.[4] (Überwindung der Nihilismus) dengan menitai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan manusia sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).[5]



2.      Tentang Ubermensch
-     “Saya bukan seorang mausia, saya adalah sebuah dinamit!”
-     “Yang penting bukanlah kehidupan kekal (das ewige Leben), melinkan kekalnya ‘yang menghidupkan’ (die ewige Lebendigkeit)!”
-     “Tuhan sudah mati”
Gagasan utama dari Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa (will to power), dan salah satu cara untuk menunjukkan kehendak untuk berkuasa ini diungkapkan melalui gagasannya tentang ubermensch (overman atau superman). Ubermensch merupakan suatu tujuan hidup manusia di dunia ini agar mereka kerasan.
Melihat dari segi bahasa, kata uber pada ubermensch mempunyai peran yang menentukan dalam membentuk seluruh makna ubermensch, yaitu kehendak untuk berkuasa sebagai semangat untuk mengatasi atau motif-motif untuk mengatasi diri. Dengan demikian akan lebih tepat apabila ubermensch diartikan sebagai manusia unggul atau manusia atas. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia sehingga Nietzsche tidak lagi percaya akan bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia, dan pemberian makna hanya dapat dicapai melalui ubermensch. Ubermensch merupakan suatu bentuk manusia yang menggap dirinya sebagai sumber nilai. Manusia yang telah mencapai ubermensch adalah manusia yang selalu mengatakan “ya” pada segala hal dan siap menghadapai tantangan, yang mempunyai sikap selalu mengafirmasikan hidupnya, dan tanpa itu ubermensch tidak mungkin akan tercipa. Jadi, ubermensch tidak pernah mengyangkal ataupun gentar dalam menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang dahsyat.[6]
Nietzsche juga percaya bahwa dengan berhadapan dengan konflik, manusia akan tertantang dan segala kemampuan yang dimilikinya dapat keluar degnan sendirinya secara maksimal. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Nietzsche sangat gemar sekali dengan kata-kata peperangan, konflik, dan sebagainya yang dapat membangkitkan semangat manusia untuk mempunyai kehendak berkuasa. Ia percaya bahwa jalan manusia menuju ubermensch dan langkah meninggalkan satatu kebinatangannya selalu dalam keadaan bahaya. Dan manusia adalah makhluk yang tidak ada henti-hentinya menyeberang atau transisional (Nietzsche mengatakan bahwa kedudukan manusia berada di tengah-tengah statu kebinatangan dan ubermensch). Dalam ubermenscih, yang dibutuhkan adalah kebebasan dan aku ingin berkuasa. Ukuran keberhasilan adalah perasaan akan bertamah nya kekuasaan. Sekalipun demikian, tetap saja ubermensch hanya dapat dicapai dengan menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki manusia secara individual.
Ubermensch hanya dapat dicapai melalui kehendak untuk berkuasa sehingga manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan mengatasi masalahnya tanpa harus bergantung pada moral dan agama. Dalam membahas ubermensch, kita harus mengungkapkan dua moral dasar yang ada di dalam manusia, yaitu moral budak dan moral tuan. Manusia yang ingin mencapai ubermensch harus mengarahkan moralnya pada moral tuan.[7]

3.      Ubermensch dari Sudut Pandang Eksistensialisme
Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia dan keberadaannya bersama dengan ada-ada yang lainnya dan ada-ada yang lainnya itu menjadi berarti karena adanya manusia.
Tujuan utama adalah menjelmakan manusia yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih berani, dan yang terpenting adalah bagaimana mengangkat dirinya dari kehanyutan dalam massa. Kehanyutan dalam massa adalah manusia yang ingin mencapai ubermensch haruslah mempunyai jati diri yang khas, yang sesuai dengan dirinya, yang ditentukan oleh dirinya, tidak mengikuti orang lain atau norma[8] dan nilai yang berlaku dalam masyarakat atau massa pada umumya. Manusia harus berani menghadapi tantangan yang ada di depan mereka dengan menggunakan kekuatannya sendiri. Nietzsche pada kesempatan lain ingin mengusulkan untuk dibentuk suatu seleksi, yaitu membentuk manusia atas atau manusia unggul dengan cara eugenika. Dia mengatakan bahwa manusia unggul baru dapat dicapai apabila ada perpaduan yang harmonis antara kekuatan, kecerdasan, dan kebanggaan.
Dalam kesempatan lain, Nietzsche mengungkapkan bahwa persamaan hak atau persamaan antara bangsa serta asas demokrasi merupakan suatu gejala bahwa masyarakat telah menjadi busuk. Tidak akan pernah ada persamaan hak karena menusa mempunyai cirri-ciri unik yang individual, dan manusia yang unggul ataupun bangsa yang unggul harus menguasai manusia atau bangsa yan glemah sehingga Nietzsche mendukung peperangan dan mengutuk perdamaian. Perdamaian boleh terjadi, tetapi untuk waktu yang tidak lama, seperti yang diungkapkannya dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu, “Kau harus cinta perdamaian sebgai alat untuk peperangan-peperangan baru dan masa damai yang singkat lebih baik ketimbang yang panjang.
Dari uraian di sini , terlihat bahwa Nietzsche sangat mengagunkan konflik dan peperangan. Jadi, manusia atau bangsa harus dipimpin oleh bangsa tau manusia yang unggul atau manusia atas, dan tidak akan pernah ada kesamaan hak karena doktrin kesaman hak itu merupakan perlindungan bagi golongan yang lemah agar tidak diserah atau dijajah oleh bangsa yang unggul, seperti semboyan yang terus diteriakkan adalah laissez-faire pada masyarakat demokratis, yaitu mereke yan gmerindukan kesamaan hak adalah sebenarnya orang-[9]orang pengecut. Doktrin bangsa yang unggul adalah yang dipakai oleh Adolf Hitler dalam Nazisme. Untuk mempertegasnya, perlu diungkapan apa yang telah dikatakan Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu Sebab bagiku beginilah bunyi keadilan: Manusia tidaklah sama. Tidak pula mereka akan menjadi sama.
Nietzsche mengatakan dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu “Jadilah manusia atas, ibarat samudra luas yang tidak akan luntur karena harus menampung arus sungai yang keruh. Manusia harus terus-menerus melampaui dirinya sendiri, terus-menerus mencipta.” Dilanjutkan dalam bagian lain dalam buku yang sama, yaitu Sudah tiba waktunya bagi manusia untuk menentukan tujuan baginya sendiri. Sudah tiba saatnya bagi manusia untuk menanam bibit harapannya yang seunggul-unggulnya.
Dari ujaran Zarathustra diatas, dapat diungkapkan bahwa Nietzsche percaya bahwa manusia unggul selalu aktif dan kreatif yang tidak akan pernah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya.
Neitzsche mengatakan bahwa hidup adalah kenikmatan yang harus dihayati sedalam-dalamnya. Dalam Zarathustra dikatakan juga bahwa manusia adalah unggul, asalkan ia mau terus-menerus menjulangkan gairahnya setinggi-tingginya.[10]
Nietzsche terus mengungkapkan pentingnya keberanian yang harus dimiliki oleh manusia atas atau manusia unggul. Manusia unggul harus berani menghadapi segala tantangan yang ada di depan, dan manusia harus berani menderita guna mencapai tujuan hidupnya, yaitu mencaai ubermensche, bahkan keberanian itu harus ditunjukkan dalam menghadapi maut dengan diungkapkannya semboyan Matilah pada Waktunya, kematian itu datangnya harus disambut seperti kita menyambut kelahiran atau kebahagiaan.
Ungkapan Nietzsche yang bisa menjadi rengungan kita adalah setiap orang mempunyai tempat sendiri dalam kehidupan ini, yaitu sesuai dengan kemampuannya masing-masing (terlihat ada pengaruh dari Zen Buddhisme tentang konsep kekosongan atau kesunyian).
Untuk menjadi ubermensch, manusa haruslah menyadari siapa dirinya dan karenanya manusia juga harus mengetahui bahwa manusia sebelumnya adalah engkau. Ketika manusia telah sadar akan kemampuannya, ia telah menjadi aku. Aku lahir sebelum engkau. Dan sejak engkau lahir, manusia menjadi tak pasti, ia terus-menerus membentuk dirinya seolah-olah menuju kepastian dan kemantapan, tetapi hal ini mustahil karena ketidak pastian dan ketidakmantapan itulah. Akan tetapi, karena dalam keadaan khaos yang dihayati itulah,[11]manusia menjadi kreatif serta bisa bercita-cita setinggi-tingginya, dan oleh karena itu, ia harus cinta akan kehidupan.
Jika manusia tidak mempunyai cita-cita atau keinginan untuk menjadi unggul, Nietzsche sangat jengkel pada mereka yang selalu mengharapkan belas kasihan orang lain karena mereka tidak mempunyai rasa malu. Ia mengatakan bahwa menjengkelkan untuk memberi mereka sesuatu, tetapi menjengkelkan juga untuk tidak member mereka apa-apa. Dan seperti telah diungkapkan di atas bahwa manusia yang unggul adalah manusia yang mempunyai keberania untuk memusnahkan nilai-nilai lama, seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche berikut ini:
Siapa pun yang hendak menjadi creator dalam kebaikan dan keburukan, sesungguhnya, ia lebih dahulu harus menjadi pemusnah dan pendobrak segala nilai.
Jadi, jelaslah bahwa seorang creator harus berani menyatakan apa yang menurutnya benar. Adakalanya kebenaran sungguh pahit untuk dinyatakan. Akan tetapi, kebenaran harus diungkapkan sebab kebenaran tidak bisa dipendam dan disembunyikan agar tidak berbalik menjadi racun yang membinasakan. Orang yang bijaksana niscaya tidak akan ingkar terhadap kebenaran serta sanggup mengungkapkannya, sebab (menurut Nietzsche) Diam adalah lebih buruk, semua kebenaran yang disembunyikan akan menjadi racun.
Pada akhir cerita Also Sprach Zarathustra, diungkapkan bahwa Nietzsche tidak menginginkan penganut-penganutnya untuk terus mengikutinya. Ia menginginkan manusia mencari jalannya sendiri, mencari jalan hidupnya sendiri. Bahkan, ia menginginkan untuk terus ditentang dan dilawan oleh para pengikutnya.[12]
Nietzshce mengekspor dengan dahsya diskursus-diskursus materi eksistensialisme (kebebasan, kematian, rasa takut khawatir, penderitaan, mimpi-mimpi manusia, kondisi keduniaan (meruang dan mewaktu/kesejarahan). Ajaran Nietzsche berpangkal dari penghayatannya akan manusia yang konkret dan kehidupannya. Ajaran utama Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa (wili to power) yang dapat ditempuh dengan mencapai suatu cita-cita manusia unggul atau ubermensch. Hal ini menegaskan bahwa eksistensi manusia adalah kehendaknya (desire or will) yang mengatasi rasio sadar dan tertutup. Nietzsche memang merupakan semangat yang melampaui zamannya (rasionalitas modern).
Cara memcapai manusia unggul adalah dengan tiga komponen dasar, yaitu harus mempunyai keberanian, kecerdasan, dan kebanggaan. Mereke harus berani karena mereka harus berani menghadapi kehidupan ini, baik kebahaigaan maupun penderitaan. Nietzsche menegaskan bahwa dengan penderitaan, manusia akan mencapai[13]potensi yang maksimal. Dengan dihadapkan dengan konflik, mausia akan dapat dengan baik mengeluarkan segala potensi dan kemampuannya, dan ini akan membatu manusia untuk menjadi ubermensch.
Konsep ubermensch inilah yang dapat dilihat sebagai suatu gagasan yang bernilai eksistensial bagi keberadaan manusia yang berada di dunia ini. Konsep ubermensch inilah yang menjadi apai yang menyala-nyala, berkobar-kobar dalam jiwa Neitzsche sehingga ia produktif menghasilkan karya-karya yang mengguncang.

PENUTUP

Kesimpulan
Eksistensi adalah Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari kata latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti di sana, di tempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, berasatu dengan alam jasmani.
Salah satu tokohnya yaitu, Friedrich W. Nietzsche mengungkapkan dengan Ubermensche,
Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia dan keberadaannya bersama dengan ada-ada yang lainnya dan ada-ada yang lainnya itu menjadi berarti karena adanya manusia.
Tujuan utama adalah menjelmakan manusia yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih berani, dan yang terpenting adalah bagaimana mengangkat dirinya dari kehanyutan dalam massa. Kehanyutan dalam massa adalah manusia yang ingin mencapai ubermensch haruslah mempunyai jati diri yang khas, yang sesuai dengan dirinya, yang ditentukan oleh dirinya, tidak mengikuti orang lain atau norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat atau massa pada umumya
DAFTAR PUSTAKA

Tafsir. Prof.Dr.H.Ahmad, 2003. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya
Sofyan, M.si  Drs. Ayi, 2010, Kapita Selekta Filsafat, Bandung: Pustaka Setia



[1] Prof.Dr.H.Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2003, hal 219
[2] Ibid hal.218
[3]  Ibid hal.219
[4] Drs. Ayi Sofyan, M.si, Kapita Selekta Filsafat, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal.188
[5]  Ibid hal.189
[6] Ibid hal.190
[7] Ibid hal.191
[8] Ibid hal. 192
[9] Ibid hal. 193
[10] Ibid hal 194
[11] Ibid hal.195
[12] Ibid hal.196
[13] Ibid hal.197

Tidak ada komentar: