Senin, 13 Mei 2013

ILMU TASAWUF Tentang Dzun Nun Al-Mishri



PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita alienasi (dalam bahasa sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Memiliki dan Mahaabsolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan.
Tasawuf sering dianggap sebagai salah satu metode alternative yang banyak dipakai manusia untuk mendekati Tuhannya. Tasawuf juga merupakan fenomena yang menarik perhatian sehingga tema-tema actual yang paling menonjol sekarang ini adalah tema-tema sufisme
Pada abad pertama orang belum mengenal istilah tasawuf, yang muncul hanya benih-benihnya saja, seperti munculnya istilah “nussak”, “zuhhad”, dan “ubbad”. Nussak adalah orang-orang yang menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah; Zuhhad adalah orang-orang yang menghindari dunia beserta kemegahan, harta benda, dan pangkat duniawi; dan Ubbad adalah orang-orang yang berusaha mengabdikan dirinya hanya semata-mata kepada Allah. Pada abad ini muncul nama Hassan al Bashri yang terkenal dengan ajarannya khauf (takut kepada Allah, dan raja’(berharap atas kasih Allah).
Kemudian pada abad ketiga muncullah seorang sufi termasyhur, yaitu Dzun Nun al Mishri. Ia banyak menambahkan cara manusia lebih mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan hidupnya adalah mencari kecintaan Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut berpaling dari jalan Allah.


PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Dzun Nun Al-Mishri
Dzun An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sifi yang tinggal disekitar pertengahan abad ketiga Hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Raidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi Mesir pada tahun 180H/796M dan wafat pada tahun 246H/856M.[1] Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya sungan Nil dalam keadaan selamat ats permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Dalam perjalanan hidupnya Al-Mishri selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungna Libanon, Anthokiah, dan Lembah Kar’an[2]. Hal ini memungkinkannya untuk memperoleh pengalaman banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqih, ilmu hadits dan guru sufi, sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka[3].
Disamping dikenal sebagai seorang sufi, Dzun Nun al-Mishri juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang kimia, logika dan filsafat. Dalam bidang kimia, beliaru berguru dengan Jabir Ibnu Hayyan. Sementara dalam bidang tasawuf ia berguru dengan Syaqran[4]. Hal inilah yang memungkinkannya untuk menjadi seorang yang alim dalam syariat dan tasawuf. Posisi Al-Mishri dalam tasawuf dilihat penting, karena dialah orang yang pertama di Mesir yang membicarakan masalah ahwal dan maqamat para wali. Kemasyhurannya dikarenakan dia telah mengklasifikasikan ahwal dan maqamat para sufi secara khusus. Ia juga dipandang sebagai bapak paham Ma’rifat karena dia memperkenalkan konsep baru tentang Ma’rifat[5]. Dalam biografi para sufi, Dzun Nun Al-Mishri dikenal sebagai orang yang rendah hati dan dermawan, berkemauan keras dan berbudi pekerti baik[6].

B.     Pemikiran Dzun Nun Al-Mishri tentang Ma’rifat
Jika kesalehan asketis masa awal nampaknya lebih merupakan reaksi terhadap perkembangan kondisi social politik, maka sepanjang abad ketiga dan keempat hijriyah sufisme mengembangkan doktrin Ma’rifat yaitu Pengalaman pengetahuan batin yang lebih merupakan reaksi terhadap pengetahuan intelektual (ilm) teologi yang memang berkembang pad aera tersebut. Secara etimologi, Ma’rifat berarti pengetahuan atau ilmu yang diperoleh melalui akal. Dalam tasawuf, Ma’rifat mempunyai pengertian mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan[7]. Abdul Qadir menegaskan bahwa Ma’rifat adalah mengenal Allah dengan jalan Musyahadah Qalbiyah (menyaksiksan dengan hati sanubari) yang merupakan pengetahuan yang benar yang dialami oleh para sufi sehingga memperkuat pengenalan fitriyahnya yang ada dalam hati[8].
Dalam istilah Barat, Ma’rifat sering disebut dengan Gnosis. Gnosis dalam bahasa Yunani berarti ilmu tanpa media serta muncul dari keterseingkapan dan penyaksian[9].
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang Ma’rifat pada mulanya sulit diterima kalangan teologi sehingga ia dianggap sebagai seorang Zindiq dan ditangkap Khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat Ma’rifat.
1.      Sesungguhnya Ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakalimin, dan ahli balaghah, tetapi Ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hambaNya yang lain[10].
2.      Ma’rifat yang sebenaranya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya Ma’rifat yang murni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga ia merasa hilang dirinya lembut dalam kekuasaan-Nya. Mereka merasa hamba, mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereke berbuat dengan perbuatan Allah[11].
Kedua pandangan Al-Mishri diatas menjelaskan bahwa Ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan Ma’rifat batin yakni Tuhan menyinari hati manusia dengan menjaga dari kecemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyadang sifat-sifat luur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup didalam-Nya dan lewat diri-Nya[12].
Dzun Nun Al-Mishri memperkenalkan konsep baru tentang Ma’rifat, yaitu:
1.      Dia membedakan antara Ma’rifat Shufiyah dengan Ma’rifat ‘Aqliyah. Ma’rifat Shufiyah digunakan oleh para sufi dengan pendekatan qalbu. Ma’rifat ‘Aqliyah digunakan oleh para teolog dengan pendekatan akal.
2.      Ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati) hal ini karena Ma’rifat itu menurutnya adalah fitrah dalam hati manusia sejak azali.
3.      Teori-teorinya tentang Ma’rifat menyerupai gnosisme model Neo Plantonik. Teori ini kemudian, dianggap sebgai jembatan menuju teori-teori wahdah Asy-Syuhud dan Ittihad. Al Mishri juga dianggap sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah ke dalam tasawuf[13].
Dzun Nun Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga yaitu:
1.      Pengetahuan Awam, yaitu pengetahuan bahwa Tuhan itu satu dengan perantaraan ucapan syahadat
2.      Pengetahuan ulama yaitu pengetahuan bahwa Tuhan itu esa menurut logika akal
3.      Pengetahuan sufi, yaitu pengetahuan bahwa Tuhan itu Esa dengan perantaraan hati sanubari
Pengetahuan yang pertama maupun yang kedua belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan, keduanya disebut ilmu (علم) bukan Ma’rifat. Ma’rifat hanyalah pengetahuan yang hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubarinya[14]. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Dzuh Nun Al-Mishri ditanya bagaimana ia memperoleh Ma’rifat tentang Tuhan, ia menjawab
عرفت رب برب ولولارب لماعرفت رب
Artinya: “ Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukkan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri seagai Hamba Allah beramal secara lahiriah sebgai pengabidan yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadah[15].
Dari pembagian pengetahuan menurut Dzun Nun Al-Mishri tersebut diatas mencerminkan kecenderungan tasawuf ke arah suatu metode yang lebih terinci dan mendalam atau dengan kata lain dari segi epistemologinya hal tersebut merupakan peralihan asketisme kea rah tasawuf. Sebab menurut Dzun Nun Al-Mishri ada tiga metode pengethuan yang berlainan, yaitu:
1.      Metode transmisi yang diperoleh oleh kaum awam
2.      Metode akal-budi yang diperoleh oleh para ilmuwan, filosof atau orang-orang semacamnya
3.      Metode ketersingkapan langsung, yaitu yang terdapat pada para wali[16].
Dzun Nun Al-Mishri juga menjelaskan bahwa untuk mencapai kepada Allah adalah dengan empat syarat yaitu:
1.      Mencintai Allah dan Rasul-Nya
2.      Membenci yang bersifat Materi
3.      Mengikuti Petunjuk Allah dan Rasul-Nya
4.      Takut akan berubah[17].
Dzun Nun Al-Mishri dalam hal ini telah menjadikan kecintaan kepada Allah dan menjauhi dunia serta ketakutan atas perubahan dalam dirinya untuk mengikuti hawa nafsu sebagai syarat untuk mencapai Ma’rifat. Hal ini member pengertian bahwa mengikuti hawa nafsu adalah mengingkari kepatuhan kepada Allah dan Pengingkaran ini menunjukkan adanya Hijab antara Tuhan dan diri Manusia[18].
Ma’rifat yang dicapai oleh para sufi menurut Dzun Nun Al-Mishri bertujuan untuk meningkatkan nilai kemanusiaan seoptimal mungkin, artinya harus berhiaskan akhlak Allah. Dzun Nun Al-Mishri pun cenderung mengaitkan Ma’rifat dengan Syari’at. Maka dalam hubungan ini menurutnya tanda seorang arif ada tiga, yaitu:
1.      Cahaya Ma’rifat tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya
2.      Tidak mengukuhi secara batiniyah ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriyah
3.      Nikmat Allah yang banyak tidak menggiringya untuk melanggar batas-batas larangan Allah[19]. Tanda tersebut pada hakekatnya mengacu pada profil seorang sufi yang memiliki akhlak yang tinggi, yaitu akhlak ilahiyah lebih jau lagi. Dzun Nun Al-Mishri mengatakan bahwa seorang arif akan semakin khusyu’ setiap kali pengenalannya terhadap Allah semakin meningkat[20].
Pandangan Ma’rifat Dzun Nun Al-Mishri tersebut akhirnya diterima Ahlis Sunnah Wal Jamaah karena Ma’rifat ini diterima oleh Al-Ghazali yang membuat tasawuf menjadi halal bagi kaum ulama’ memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam seperti yang diajarkan oleh Al-Bustami dan Al-Hallaj[21].


PENUTUP

Kesimpulan
1.      Dzun Nun al Mishri adalah seorang tasawuf pertama yang memberikan tafsiran-tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia juga orang pertama yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang pertama yang memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik.
2.      Al Ma’rifat menurut pandangan Dzun Nun al Mishri adalah al ma’rifat terhadap keesaan Allah yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2012, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press
Zuhri, Amat, 2004 Ilmu Tasawuf, Pekalongan: Stain Press
Anwar, Rosihon dan Mukhtar, Solihin. 2000, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka
Harun Nasution, 1973, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Rif’I, Bachrun, dan Hasan Mud’is, 2012, Filsafat Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka


[1] The Encyclopedia of Islam, E.J.Brill, Leiden, 1993, hal.242
[2] Muhammad Syafiq Ghirbal, Al-Mausu’ah Al-Arabiyyah Al Musyassarah. Dar Al-Qalam, Mesir, t.t hal. 848
[3] Abd.Al-Mur’im Al-Hafani, Al-Mausu’ah Ash-Shufiyyah. Dar Ar-Rasyad, Kairo, 1992. Hal.165
[4] Lihat Abu Na’im Ahmad bin Abdullah Al-Ashfihani, Hilatu Auliya’wa Thabaqat Al-Asyfiya; jilid IX Berikut dar Al-Fikr. Hal.331-332
[5] Hamka, Op.Cit hal.101-102
[6] Harun Nasution, Op.Cit, 1992, hal.76. lihat juga Ensikopedi Islam, Jilid 5, Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 1994. Hal.84
[7] Harun Nasution, Op.Cit, 1992 hal.72
[8] Abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyah Fi Al-Islam, Cairo: Dar al-Fikr, 1967 hal.302
[9] Abdul Wafa al-Ghanimi al Taftazani, Op.Cit, hal 99
[10] Ibid
[11] Reynold A Nicholson, The Mystics of Islam, Routledge and Kegan Paul, London, 1975, hal.115
[12] Mahmud, Op.Cit. hal.66-67
[13] Hamka, Op.Cit , hal.101-102
[14] Harun Nasution, Op.Cit, 1992, hal.76
[15] Mustafa Zahri, Op.Cit, hal.230
[16] Abul Wafa-Al ganimi Al-Taftazani, Op.Cit, hal.98-99
[17] Abdul Halim Mahmud, Dzun Nun, Hal.49
[18] Harun Nasution, Op.Cit , 1992, hal.77
[19] Abdul Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Op.Cit. hal.97
[20] Ibid hal.98
[21] Harun Nasution, Op.Cit 1992.hal.72

Tidak ada komentar: