BAB
I
PENDAHULUAN
Masyarakat madani,
konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang
pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada
simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26
September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak
menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang
memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang
diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab,
masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi
diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik
oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan
mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi
“khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan
Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).
Perujukan terhadap
masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan
struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal
ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk
Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya
(lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar
yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik
sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun
“masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik
belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat
Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam,
menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja,
tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga harus
meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan
dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak
meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam
mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat
Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya
menunggu waktu saja.
Konsep masyarakat
madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat beradab yang
mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan
demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
BAB
II
MASYARAKAT
MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT
A.
Pengertian
Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab,
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani
dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan
Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di
sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
B.
Konsep
Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan
atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan
istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish
Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep
dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah
dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil
society dalam masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah
terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari
sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali
menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil
society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah
civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan
Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang
mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja
(Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah
yang dilahirkan untuk menerjemahkan Pemikiran di luar menjadi “Islami”. Menilik
dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat
Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat
Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat
madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas
adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang
meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang
rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam
buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan
masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran
atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu
Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan Pemikiran yang berwayuh
wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda.
Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau
masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley
dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the
sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the
market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
C.
Sejarah
Masyarakat Madani
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang
terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1. Masyarakat
Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2. Masyarakat
Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW
beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama
Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga
unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan
sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW
sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan
memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
D.
Karakteristik
Masyarakat Madani
Ada
beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya
kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat
dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya
program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program
pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya
kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuh
kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya
kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya
pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai
ragam perspektif.
8. Bertuhan,
artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
9. Damai,
artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara
kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong
menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi
kebebasannya.
11. Toleran,
artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh
Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak
lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban
tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak
mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan
bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para
anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat
dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan
peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan
program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani
bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted.
Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang
panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di
negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka
ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani,
yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan
berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang
sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil
resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh
prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya
kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya
modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif
bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya
kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak
adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya
akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya
hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan
publik dapat dikembangkan.
5. Adanya
kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya
sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan
sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya
jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya
akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat
“sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti
demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada
beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat
madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang
menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan
semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme
versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe
pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian
malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos
kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan
sosial.
2. Pluralisme
versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai
kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas
dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka
tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter
etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya.
Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5),
“…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat
dan terhadap potensi manusia.” Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi
yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya.
Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas
secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi
ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada
tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada
tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan
perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara
struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial
memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga
lainnya.
3. Elitisme
dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap
strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian
dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau
sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Pemikiran Masyarakat Madani semula dimunculkan
sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu
masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses
demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian
memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu
kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun
1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan
sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya,
kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan
kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran
agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah
Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara
historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan
ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai
masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam
membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai
daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara
bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam
konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki
dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial
ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah
pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis
dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya.
Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak
mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara
dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal
dia memasukan kebajikan di dalam Pemikiran masyarakatnya. Masyarakat sipil
dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang
struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini
telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil
masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada
masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin
secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial,
politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini
tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson
selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat
komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari
Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan
spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan
syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun
militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara,
maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan
menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka
secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada
“masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung
muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan
analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani.
Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh
hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara.
Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas
(berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat
Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota)
dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn.
Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah
din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan
masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani
bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah
masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar
ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang
ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang
senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat
landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung
bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk
mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah
masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal
kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan
konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak
hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib.
Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan
penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita
membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M,
setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah
yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah
satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan
mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara
berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar
dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga
karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat
pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak
dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah
yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan
ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat
(49) ayat 13.
Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang
kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan
karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif
dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya
vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya
jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita
adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam
memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri
terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas
parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh).
Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara
sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai
pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000)
menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya
sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan
memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama
lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah.
Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman
Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam
dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan
mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam
arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di
dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat
Al-Mujadilah:11).
E.
Gerakan
Sosial untuk Memperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari
peran gerakan sosial, gerakan sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau
masyarakat sipil yang didasari oleh pembagian tiga ranah, yaitu negara (state),
perusahaan atau pasar, dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini, maka
terdapat gerakan politik yang berada diranah negara dan gerakan ekonomi.
Pembagian ini telah dibahas juga oleh Sidney Tarrow yang melihat political
parties berkaitan dengan gerakan politik, yakni sebagai upaya perebutan dan
penguasaan jabatan politik oleh partai politik melalui pemilu., gerakan ekonomi
berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan
publik tanpa harus menduduki jabatan politik tersebut.
Berdasarkan pemetaan diatas, secara empiris ketigaya
dapat saling bersinergi, pada ranah negara dapat menjadi beberapa gerakan
politik yang dilakukan oleh parpol dalam pemilu yang mengusung masalah yang
juga didukung oleh gerakan sosial. Sebagai contoh gerakan sosial oleh
masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti Rancangan Undang-undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) mempunyai kaitan dengan kelompok atau parpol
di ranah politik maupun kelompok bisnis pada sisi yang lain.
F.
Organisasi Non Pemerintah dalam
Ranah Masyarakat Madani (Civil Society)
Istilah Organisasi Non Pemerintah adalah terjemahan
NGO (Non-Governmental Organization). Yang telah lama dikenal dalam pergaulan
internasional, istilah ini merujuk pada organisasi non negera yang mempunyai
kaitan dengan organisasi non pemerintah, istilah ini perlahan-lahan menyebar
dan dipakai oleh komunitas internasional.
Dalam arti umum, pengertian organisasi non pemerintah
mencakup semua organisasi masyarakat yang berada diluar struktur dan jalur
formal pemerintah, dan tidak dibentuk oleh atau merupakan bagian dari birokrasi
pemerintah, karena cakupan pengertiannya yang luas, penggunaan istilah
organisasi non pemerintah sering membingungkan dan juga bisa mengaburkan
pengertian organisasi atau kelompok masyarakat yang semata-mata bergerak dalam
rangka pembangunan sosial-ekonomi masyarakat tingkat bawah, istilah organisasi
non pemerintah bagi mereka yang tidak setuju memakai istilah ini berpotensi
memunculkan pengertian tidak menguntungkan. Pemerintah khususnya menolak
menggunakan istilah itu dengan alasan makna organisasi non pemerintah terkesan
“ memperhadapkan “ serta seolah-olah “ oposan pemerintah, pengertian organisasi-organisasi
kemasyarakatan lainnya yang bersifat non pemerintah, di dalamnya bisa termasuk
serikat kerja, kaum buruh, himpunan para petani atau nelayan, rumah tangga,
rukun warga, yayasan sosial, lembaga keagamaan, klub olahraga, perkumpulan
mahasiswa, organisasi profesi, partai politik, atau pun asosiasi bisnis swasta.
BAB
III
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
1. Masyarakat
madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip-prinsip moral
yang menjamin kesimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat,
inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan
pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan
individu.
2. Perwujudan
masyarakat madani ditandai dengan karakteristik masyarakat madani, diantaranya
wilayah publik yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan dan keadilan
sosial.
3. Strategi
membangun masyarakat madani di indonesia dapat dilakukan dengan integrasi
nasional dan politik, reformasi sistem politik demokrasi, pendidikan dan
penyadaran politik.
4. Masyarakat
sipil mengejewantah dalam berbagai wadah sosial politik di masyarakat, seperti
organisasi keagamaan, organisasi profesi, organisasi komunitas, media dan
lembaga pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia:
Jakarta.
Mansur, Hamdan. 2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam.
Depag RI: Jakarta.
Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam
Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.
Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion.
MUI: Jakarta.
Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam
Kehidupan. Pikiran Rakyat: Bandung.
Suryana, A. Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara:
Bandung
Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.
Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Prenada Media: Jakarta.
Ubaedillah, Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, ICCE UIN, Syarif
Hidayatullah, Jakarta : 2008
Retno Lisyarti, Setiadi, Pendidikan Kewarganegaraan, Erlangga :
PT. Gelora Aksara Pratama. 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar