PENDAHULUAN
Dalam
proses penerimaan hadis para ahli hadis mensyaratkan beberapa ketentuan, selain
kelayakan perowi (sisi sanad) disyaratkan juga keabsahan matan (teks) hadis.
Hadis yang sampai kepada kita, keshahihannya tidak hanya ditentukan oleh perowinya
namun ditentukan pula oleh kualitas teksnya.
Dari
aspek kualitas ini, hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis maqbul dan hadis
mardud. Hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima sebagai hujjah atau dalil
serta dapat dijadikan sebagai landasan hokum. Adapun hadis mardud (tertolak)
adalah hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah ataupun dalil. Hadis
maqbul ada2 jenis, Hadis Shahih dan Hadis Hasan.
Kali
ini pemakalah akan memaparkan apa itu Hadis Shahih. Definisi, syarat,
pembagian, dan kehujjahannya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Shahih
Pengertian
hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung sanadnya, yang
diriwayatkan oleh rowi yang adil dan yang dhabit dari rawi yang lain(juga) adil
dan dhobit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak
mengandung cacat (illat). Menurut H. Zeid B. Smeer, Lc, MA dalam bukunya
“Pengantar Studi Hadis Praktis, hadis shahih adalah hadis yang memiliki
criteria hadis maqbul, yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang
bersifat ‘udul memiliki hafalan yang kuat, tidak terdapat kejanggalan dalam
matannya dan tidak pula terdapat cacat.[1]
Dari pengertian diatas bahwa
kriteria hadits shahih ada lima syarat:
1. Bersambungnya Sanad
2. Perawinya bersifat adil
3. Perawinya bersifat dhabit
4. Terhindar dari syadz
5. Terhindar dari ‘illat[2]
B.
Syarat-syart Hadits Shahih
1. Kebersambungan Sanad
Tidak terdapat
keseragaman pendapat para ulama mengenai konsep kebersambungan sanad ini. Untuk
menunjuk polemik tersebut, misalnya dapat dimajukan konsep yang digulirkan
al-Bukhari. Bagi al-Bukhari[3]
sebuah sanad baru diklaim bersambug apabila memenuhi criteria berikut:
a. Pertama, al-liqa’, yakni adanya
pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai
dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara murid yang mendengar secara langsung
suatu hadis dari gurunya.
b. Kedua, al-mu’asharah, yakni bahwa
sanad diklaim bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang
guru dengan muridnya.
Sedangkan bagi Muslim, terkesan agak
memperlonggar persyaratan ittishal sanad tersebut. Bagi muslim sebuah sanad
dikatakan telah bersambung apabila antara satu perawi dengan perawi berikutnya
begitu seterusnya ada kemungkinan btertemu karena keduanya hidup dalam kurun
waktu yang sama sementara tempat tinggal mereka tidaklah terlalu jauh bila
diukur dengan kondisi saat itu.
Secara ringkas, dapat dinyatakan
bahwa suatu hadis dinyatakan bersambung sanadnya apabila:
a. Pertama, pada seluruh periwayat
dalam sanad itu terjadi pertemuan langsung, yakni adanya hubungan antara
guru-murid, sehingga seorang perawi bertemu dengan guru atau orang yang
meriwayatkan hadis kepadanya, dan bertemu langsung dengan murid yang
meriwayatkan hadis darinya,
b. Kedua, antara masing-masing
periwayat dengan periwayat terdekat
sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatn
hadis menurut ketentuan )proses penerimaan dan periwayatan hadis) tahammul[4]
wa ada’ al-hadits. Mayoritas ulama hadis menempatkan periwayan dengan
metode al-sama’ pada peringkat tertinggi.
2. Perawinya bersifat adil
Term ‘adalah (adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong
kepada kebenaran.[5]
Banyak perbedaan pendapat antara ulama, memperhatikan pendapat ulama yang telah
dipaparkan agaknya dapat dipahami bahwa seseorang dikatakan adil atau bersifat
‘adalah jika pada dirinya terkumpul criteria muslim, baligh, berakal,
memelihara muru’ah, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat dan dapat
dipercaya beritanya.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan adil adalam transformasi hadis adalah bahwa
periwayat tersebut harus beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama
dan memelihara citra dirinya (muru’ah). Dengan kata lain, keadilan periwata ini
terkait erat dengan kualitas pribadinya. Sekalipun ulama mempunyai maksud yang
sama dalam mendefinisikan tentang sifat adil ini, tetapi mereka berbeda dalam
redaksi dan kriterianya. Syuhudi Ismail[6]
menyebutkan terdapat 15 pendapat para ulama ketika mendefinisikan keadilan
periwayat hadis.
Ada beberapa cara menetapkan
keadilan periwayat hadis yang disebutkan oleh ulama, yakni berdasarkan:
a. Pertama, popularitas keutamaan
periwayat tersebut di kalangan ulama hadis
b. Kedua, penilaian dari para kritikus periwayat
hadis
c. Ketiga, penerapan kaedah al-jarh wa
al-ta’dil. Cara ini ditempuh bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat
tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.
3. Perawinya bersifat dhabit
Dhabit (Aspek intelektualitas)
perawai yang dikenal dalam ilmu hadis dipahami sebagai kapasitas kecerdasan
perawi hadis. Istilah dhabit ini secara etimologi memiliki arti menjaga
sesuatu.[7]
Seorang perawi layak disebut dhabit,
apabila dalam dirinya terdapat sifa-sifat berikut:
a. Pertama, perawi itu memahami dengan
baik riwayat yang telah didengarnya dan diterimanya
b. Kedua, perawi itu hafal dengan baik
atau mencatat dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah
didengarnya (diterimanya)
c. Ketiga, perawi itu mampu
menyampaikan riwyat hadis yang telah didengarnya dengan baik, kapanpun
diperlukan, terutama hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat hadisnya
kepada orang lain.
4. Terhindar dari Syadz
Secara lebih luas, dalam terminology
ilmu hadis, terdapat tiga pendapat berkenaan dengan denifisi syadz, yakni
a. Pertama, pendapat yang dimajukan
al-Syafi’I, menyatakan bahwa hadis baru dinyatakan mengandung syadz bila hadis
yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang juga bersifat tsiqah. Dengan demikian
hadis syadz itu tidaklah disebabkan oleh kemenyedirian individu perawi dalam
sanad hadits, dan juga tidak disebabkan perwai yang tidak tsiqah
b. Kedua, bagi Al-Khalili, sebuah hadis
dinyatakan mengandung syadz apabila hanya memeiliki satu jalur saja, baik hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi
yang tsiqah maupun yang tidak, baik btertentangan atau tidak. Dengan demikian,
hadis syadz bagi al-Khalili sama dengan hadis yang berstatus fard mutlaq.
Alasan yang dimajukan al-Khalili adalah karena hadis yang berstatus fard mutlaq
itu tidak memiliki syahid , yang memunculkan kesan bahwa perawinya syadz,
bahkan matruk.
c. Ketiga, pendapat yang dikemukakan
oleh al-Naisaburi bahwa hadis diklaim syadz apabila hadis tersebut diriwayatkan
oleh seorang perawi yang meriwayatkan hadis tersebut. Dengan demikian,
kerancuan (syadz) sebuah sanad hadis disebabkan oleh kemenyendirian perawi, dan
tidak disebabkan oleh ketidaktsiqatan seorang perawi hadis
5. Terhindar dari ‘illat
Kata ‘illat secara lughawi berate
sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminology
ilmu hadis, ‘illat didefinisikan sebagai sebuah hadis yang didalamnya terdapat
sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir
tampak shahih. ‘Illat disini adalah cacat yang menyelinap pada sanad hadis,
sehingga kecacatan tersebut pada umumnya berbentuk:
a. Pertama, sanad yang tampak
bersambung (muttashil) dan sampai kepada Nabi (marfu’) ternyata muttashil
tetapi hanya sampai kepada sahabat (mawquf)
b. Kedua, sanad yang tampak muttashil
dan marfu’ ternyata muttashil tetapi hanya riwayat sahabat dari sahabat lain
(mursal)
c. Ketiga, terjadi percampuran dengan
hadis lain
d. Keempat, kemungkinan terjadi
kesalahan penyebutan perawi yang memiliki kesamaan nama, padahal kualitas pribadi
dan kapasitas intelektualnya (tsiqah) tidak sama
C.
Cara mengukur keshohihan hadits..
Untuk
mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari
beberapa syarat yang telah tercantum dalam sub yang menerangkan hadits shahih.
Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka
secara otomatis tingkat hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita
meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits
tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabidnya
berada pada tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka
dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi.
Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan
satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang
pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.
Untuk hadits
shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi.
Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya
menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan
apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi
dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut adalah
hadits shahih lighoirihi.
- · Ashahhul asanid (sanad-sanad paling shahih)
Para ulama’ berusaha keras
mengkomparasikan antar perwi-pwrwi yang maqbul dan mengetahui sanad –sanad yang
memuat drajat diterima secara maksimal kerena perawinya terdiri dari orang
–orang terkenal dengan keilmuan, kedhobitan dan keadilannya dengan yang
lainnya. Mereka menilai bahwa sebagian sanad shahih merupakan tingkat tertinggi
dari pada sanad lainnya,karena memenui syarat syarat maqbul secara maksimal dan
kesempurnaan para perowinya dalam hal kreteri-kereterianya. Mereka kemudian
menyebutnya ashahhul asnid. Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai
hal itu. Sebagian mengatakan, ashahhul asanid adalah :
1. Riwayat ibn syibah az-zuhriy dari salim
ibn abdillah ibn umar dari ibn umar.
2. Sebagian lain mengatakan, ashahhul
asanid adalah riayat sulaiman al-A’masi dari Ibrahim an-nakha’iy dari ‘Al qomah
ibn Qois Abdullah ibn mas’ud.
3. Imam bukhari dan yang lain
mengatakan, sahahhul asnid adalah riwayat imam malaik ibn anas dari nafi’ maula
ibn umar dari ibn umar. Dan karena imam asy-syafi’Iy merupakan orang yang
paling utama yang meriwayatkan dari imam malik, dan imam ahmad merupakan orang
yang paling utama yang meriwayakan dari imam syafi’iy,maka sebagian ulama’
muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad
dari imam syafi’I dari imam malik dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang
disebut dengan silsilah adz- dzahab (rantai emas).
Untuk memudahkan mengetahui ashahhul
asanid dan meredam silang dikalangn ulama’ mengenai hal ini, maka abu abdillah
al-hakim mamandang perlu menghususkannya dengan sahabat tertentu atau negeri
tertentu.
D.
Makna
Pernyataan Ulama’ Tentang Shahihul Isnad Dan Ashahhu Syai’in Fi Al-Bab
Dari uraian
diatas kita bisa mengetahui, bahwa hadits yang memenui kelima syarat diatas
dinilai shahih. Dan ulama’ menilai wajib mengamalkannya. Akan tetapi para
kritikus hadits lebih memilih sebutan ’’ hadits shohihul isnad “ dari pada
sebutan “hadits shohih”, karena kawatir matannya syadz atau mu’allal, sehinga
yang shohih hanya sanadnya. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kelaziman
hubungan antara keshahihin sanad keshahihan matan. Syaikhul Islam Ibn Hajar
mengatakan, yang tidak syak lagi adalah seorang imam diantara mereka tidak
berlih dengan sebutan ”shahih” kesebutan “shahihul isnad”, kecuali karna alas
an tertuntu.8 namun bila yang mengatakan itu adalah perowi yang hafidz lagi
bias dipercaya, tanpa menyebut ‘illah qodihah terhadap hadits bersngkutan, maka
jelas menunjukkan keshahihan pula.9
Sebagian para
ulama’ muta’akhirin ketika menshahihkan sebagian hadits akan mengetakan
“shahihul isnad”. Hal ini disebabkan oleh kewira’ian dan kehati-hatian mereka.
Namun kita tidak perlu ragu, bahwa yang mereka maksud adalah hadits shahih.
E.
Peran
At-Tabi’ dalam analisis kualitas Sanad
Sebelum kita
mengetahui lebih jauh peran mutabi’ terhadap kualitas sebuah hadits. Sebaiknya
kita terlebuh dahulu mengetahui apakah pengertian at tabi’. Mutabi’
merupakan isim fa’il taba’a yang berarti mengikuti. Sedangkan pengertian
terminologinya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
berkapasitas sebagai al- mukhorij al- hadits. Di mana hadits itu sesuai dengan
hadits yang yang diriwayatkan oleh perawinya. Sedangkan al-mukhorij itu
meriwayatkan dari guru perawi pertama atau dari guru-gurunya perawi. Pengertian
lain mutabi’ adalah hadits yang rowinya itu ada kesesuaian dengan rowi lain
yang berkapasitas sebagi mukharriij al hadits. Di mana rawi kedua
meriwayatkan dari guru rawi pertama atau dari guru-gurunya rawi pertama.
Posisi mutabi’
sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadits. Karena ketika ada sebuah
hadits yang kurang dari segi sanad, sehingga tidak bisa dapat dikategorikan
sebagai hadits shohih maupun hadits hasan, maka ketika ditemukan hadits yang
sama dari jalur lain, posisi hadits yang pertama bisa kuat dan naik menjadi
hadits shohih lighoirihi atau hasan lighoirihi. Tsiqah adalah seseorang
yang mempunyai sifat ‘adil dan dlobid artinya tidak diragukan kualitas
moral maupun intelektualnya.
Hadits shahih
terbagi menjadi dua;
1.
Shohih
lidzatihi
Shohih lidzatihi adalah sebuah hadits yang mencakup
semua syarat hadits shahih dan tingkatan rowi berada pada tingkatan pertama.
Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di
atas, akan tetapi tingkatan perowi hadits berada pada tingkatan kedua maka
hadits tersebut dinamakan hadits Hasan.
2.
Shohih
lighoirihi
Hadits ini dinamakan lighoirihi
karena keshahihan hadits disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dalam artian hadits
yang tidak sampai pada pemenuhan syarat-syarat yang paling tinggi. Yakni dlobid
seorang rowi tidak pada tingkatan pertama. Hadits jenis ini merupakan hadits
hasan yang mempunyai beberapa penguat. Artinya kekurangan yang dimiliki oleh
hadits ini dapat ditutupi dengan adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama,
yang diriwayatkan melalui jalur lain.
Menurut Ibnu Sholah memberi alasan
karena pada Muhammad bin Amr bin al-Qomah termasuk orang yang lemah dalam
hafalan,.kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini
dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A’raj bin Humuz dan sa’id al Maqbari
maka bias dikategorikan shohih lighirihi.
PENUTUP
Kesimpulan
Hadits
shahih lebih sempurna dari pada hadits hasan, karna hadits shahih para perwinya
adil,sanadnya bersambung sampei Rosulullah,sempurna hafalannya, kuat
ingatannya, tidak janggal dan tidak ada cacat. Sedangkan hadits hasan, bedanya
sedikit dengan shahih yaitu: lemah hafalannya tapi yang lain sama.
Meskipun
hadits hasan kududukannya dibawah hadits shahih tapi para ulama’ berhujjah
bahwa hadits hasan beleh dijadikan sebagai sandaran hukum islam, dalam moral
dan aqidah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-khotib,
DR. Muhammad Ajaj. Ushul al-Hadits : Pokok-pokok Ilmu Hadits. (Gaya
Media Pratama: Jakarta). 2001.
An-Nadwi,
H. Fadlil Sa’id. Ilmu Mustholah Hadits. (Al-Hidayah:Surabaya).1420 H.
Ahmad,
Drs. H. Muhammad-Drs. H.Mudzakir. Ulumul Hadits.(Pustaka Setia
:Bandung). 2004.
Zeed
B Semeer, H, Lc, MA, 2008, Ulumul Hadis
Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang : UIN-Malang Press hal.31
Umi
Sumbulah, Hj, Dr, M.Ag, 2010, Kajian
Kritis Ilmu Hadis, Malang : UIN-Maliki Press
Ali
Mustofa Ya’kub, 1991, Imam bukhari dan
Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet II
Ibn
al-Shalah, 1981, ‘Ulum al-Hadits, Beirut:
Maktabah al-‘Ilmiyyah
Ibn
Madzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar
al-Mishriyah, t.th.), jus XIII
Syuhudi
Ismail, 1992, Metodologi Penelitian Hadis,
Jakarta: Bulan Bintang
Abu
Louis Ma;luf, 1986, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam Beirut: Dar al-Masyriq cet ke-24
[1]
Zeed B Semeer, H, Lc, MA, 2008, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang
: UIN-Malang Press hal.31
[2]
Umi Sumbulah, Hj, Dr, M.Ag, 2010, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang :
UIN-Maliki Press hal.112
[3]
Ali Mustofa Ya’kub, Imam bukhari dan Metodologi Kritik dalam
Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), cet II, hal.19
[4]
Istilah al-tahammul didefinisikan sebagai sebuah kegiatan menerima hadis.
Sedangkan ada’ al-hadits dipahami sebagai kegiatan menyampaikan hadits. Lihat Ibn
al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, (Beirut:
Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1981), hal 114-115
[5]
Ibn Madzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Mishriyah, t.th.), jus XIII, hal
445-463
[6]
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hal. 7-9
[7]
Abu Louis Ma;luf, Al-Munjid fi al-Lughah
wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), cet ke-24, hal 445.
2 komentar:
Substansinya bagus, tetapi penulisan dalam ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD) serta ketelitian penulisan kata masih perlu ditingkatkan.
terimakasih telah berbagi ilmu ...
Posting Komentar