Senin, 13 Mei 2013

ULUM AL-HADITS Tentang Hadits Shohih (Definisi, Syarat, Pembagian, dan Penghujjahan)



PENDAHULUAN

Dalam proses penerimaan hadis para ahli hadis mensyaratkan beberapa ketentuan, selain kelayakan perowi (sisi sanad) disyaratkan juga keabsahan matan (teks) hadis. Hadis yang sampai kepada kita, keshahihannya tidak hanya ditentukan oleh perowinya namun ditentukan pula oleh kualitas teksnya.
Dari aspek kualitas ini, hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima sebagai hujjah atau dalil serta dapat dijadikan sebagai landasan hokum. Adapun hadis mardud (tertolak) adalah hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah ataupun dalil. Hadis maqbul ada2 jenis, Hadis Shahih dan Hadis Hasan.
Kali ini pemakalah akan memaparkan apa itu Hadis Shahih. Definisi, syarat, pembagian, dan kehujjahannya.


PEMBAHASAN

A.   Pengertian Hadits Shahih
Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil dan yang dhabit dari rawi yang lain(juga) adil dan dhobit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat). Menurut H. Zeid B. Smeer, Lc, MA dalam bukunya “Pengantar Studi Hadis Praktis, hadis shahih adalah hadis yang memiliki criteria hadis maqbul, yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang bersifat ‘udul memiliki hafalan yang kuat, tidak terdapat kejanggalan dalam matannya dan tidak pula terdapat cacat.[1]
Dari pengertian diatas bahwa kriteria hadits shahih ada lima syarat:
1.    Bersambungnya Sanad
2.    Perawinya bersifat adil
3.    Perawinya bersifat dhabit
4.    Terhindar dari syadz
5.    Terhindar dari ‘illat[2]

B.   Syarat-syart Hadits Shahih
1.    Kebersambungan Sanad
Tidak terdapat keseragaman pendapat para ulama mengenai konsep kebersambungan sanad ini. Untuk menunjuk polemik tersebut, misalnya dapat dimajukan konsep yang digulirkan al-Bukhari. Bagi al-Bukhari[3] sebuah sanad baru diklaim bersambug apabila memenuhi criteria berikut:
a.    Pertama, al-liqa’, yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara murid yang mendengar secara langsung suatu hadis dari gurunya.
b.    Kedua, al-mu’asharah, yakni bahwa sanad diklaim bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya.
Sedangkan bagi Muslim, terkesan agak memperlonggar persyaratan ittishal sanad tersebut. Bagi muslim sebuah sanad dikatakan telah bersambung apabila antara satu perawi dengan perawi berikutnya begitu seterusnya ada kemungkinan btertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara tempat tinggal mereka tidaklah terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat itu.
Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa suatu hadis dinyatakan bersambung sanadnya apabila:
a.    Pertama, pada seluruh periwayat dalam sanad itu terjadi pertemuan langsung, yakni adanya hubungan antara guru-murid, sehingga seorang perawi bertemu dengan guru atau orang yang meriwayatkan hadis kepadanya, dan bertemu langsung dengan murid yang meriwayatkan hadis darinya,
b.    Kedua, antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat  sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatn hadis menurut ketentuan )proses penerimaan dan periwayatan hadis) tahammul[4] wa ada’ al-hadits. Mayoritas ulama hadis menempatkan periwayan dengan metode al-sama’ pada peringkat tertinggi.

2.    Perawinya bersifat adil
Term ‘adalah (adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran.[5] Banyak perbedaan pendapat antara ulama, memperhatikan pendapat ulama yang telah dipaparkan agaknya dapat dipahami bahwa seseorang dikatakan adil atau bersifat ‘adalah jika pada dirinya terkumpul criteria muslim, baligh, berakal, memelihara muru’ah, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat dan dapat dipercaya beritanya.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan adil adalam transformasi hadis adalah bahwa periwayat tersebut harus beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara citra dirinya (muru’ah). Dengan kata lain, keadilan periwata ini terkait erat dengan kualitas pribadinya. Sekalipun ulama mempunyai maksud yang sama dalam mendefinisikan tentang sifat adil ini, tetapi mereka berbeda dalam redaksi dan kriterianya. Syuhudi Ismail[6] menyebutkan terdapat 15 pendapat para ulama ketika mendefinisikan keadilan periwayat hadis.
Ada beberapa cara menetapkan keadilan periwayat hadis yang disebutkan oleh ulama, yakni berdasarkan:
a.    Pertama, popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama hadis
b.    Kedua, penilaian dari para kritikus periwayat hadis
c.    Ketiga, penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.




3.    Perawinya bersifat dhabit
Dhabit (Aspek intelektualitas) perawai yang dikenal dalam ilmu hadis dipahami sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis. Istilah dhabit ini secara etimologi memiliki arti menjaga sesuatu.[7]
Seorang perawi layak disebut dhabit, apabila dalam dirinya terdapat sifa-sifat berikut:
a.    Pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya dan diterimanya
b.    Kedua, perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya)
c.    Ketiga, perawi itu mampu menyampaikan riwyat hadis yang telah didengarnya dengan baik, kapanpun diperlukan, terutama hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain.
4.    Terhindar dari Syadz
Secara lebih luas, dalam terminology ilmu hadis, terdapat tiga pendapat berkenaan dengan denifisi syadz, yakni
a.    Pertama, pendapat yang dimajukan al-Syafi’I, menyatakan bahwa hadis baru dinyatakan mengandung syadz bila hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang juga bersifat tsiqah. Dengan demikian hadis syadz itu tidaklah disebabkan oleh kemenyedirian individu perawi dalam sanad hadits, dan juga tidak disebabkan perwai yang tidak tsiqah
b.    Kedua, bagi Al-Khalili, sebuah hadis dinyatakan mengandung syadz apabila hanya memeiliki satu jalur saja,  baik hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah maupun yang tidak, baik btertentangan atau tidak. Dengan demikian, hadis syadz bagi al-Khalili sama dengan hadis yang berstatus fard mutlaq. Alasan yang dimajukan al-Khalili adalah karena hadis yang berstatus fard mutlaq itu tidak memiliki syahid , yang memunculkan kesan bahwa perawinya syadz, bahkan matruk.
c.    Ketiga, pendapat yang dikemukakan oleh al-Naisaburi bahwa hadis diklaim syadz apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang perawi yang meriwayatkan hadis tersebut. Dengan demikian, kerancuan (syadz) sebuah sanad hadis disebabkan oleh kemenyendirian perawi, dan tidak disebabkan oleh ketidaktsiqatan seorang perawi hadis
5.    Terhindar dari ‘illat
Kata ‘illat secara lughawi berate sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminology ilmu hadis, ‘illat didefinisikan sebagai sebuah hadis yang didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir tampak shahih. ‘Illat disini adalah cacat yang menyelinap pada sanad hadis, sehingga kecacatan tersebut pada umumnya berbentuk:
a.    Pertama, sanad yang tampak bersambung (muttashil) dan sampai kepada Nabi (marfu’) ternyata muttashil tetapi hanya sampai kepada sahabat (mawquf)
b.    Kedua, sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil tetapi hanya riwayat sahabat dari sahabat lain (mursal)
c.    Ketiga, terjadi percampuran dengan hadis lain
d.    Keempat, kemungkinan terjadi kesalahan penyebutan perawi yang memiliki kesamaan nama, padahal kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya (tsiqah) tidak sama



C.    Cara mengukur keshohihan hadits..
Untuk mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari beberapa syarat yang telah tercantum dalam sub yang menerangkan hadits shahih. Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabidnya berada pada tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi. Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.
Untuk hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi. Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.
  • · Ashahhul asanid (sanad-sanad paling shahih)
Para ulama’ berusaha keras mengkomparasikan antar perwi-pwrwi yang maqbul dan mengetahui sanad –sanad yang memuat drajat diterima secara maksimal kerena perawinya terdiri dari orang –orang terkenal dengan keilmuan, kedhobitan dan keadilannya dengan yang lainnya. Mereka menilai bahwa sebagian sanad shahih merupakan tingkat tertinggi dari pada sanad lainnya,karena memenui syarat syarat maqbul secara maksimal dan kesempurnaan para perowinya dalam hal kreteri-kereterianya. Mereka kemudian menyebutnya ashahhul asnid. Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai hal itu. Sebagian mengatakan, ashahhul asanid adalah :
1.     Riwayat ibn syibah az-zuhriy dari salim ibn abdillah ibn umar dari ibn umar.
2.     Sebagian lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riayat sulaiman al-A’masi dari Ibrahim an-nakha’iy dari ‘Al qomah ibn Qois Abdullah ibn mas’ud.
3.     Imam bukhari dan yang lain mengatakan, sahahhul asnid adalah riwayat imam malaik ibn anas dari nafi’ maula ibn umar dari ibn umar. Dan karena imam asy-syafi’Iy merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari imam malik, dan imam ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayakan dari imam syafi’iy,maka sebagian ulama’ muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad dari imam syafi’I dari imam malik dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang disebut dengan silsilah adz- dzahab (rantai emas).
Untuk memudahkan mengetahui ashahhul asanid dan meredam silang dikalangn ulama’ mengenai hal ini, maka abu abdillah al-hakim mamandang perlu menghususkannya dengan sahabat tertentu atau negeri tertentu.

D.    Makna Pernyataan Ulama’ Tentang Shahihul Isnad Dan Ashahhu Syai’in Fi Al-Bab
Dari uraian diatas kita bisa mengetahui, bahwa hadits yang memenui kelima syarat diatas dinilai shahih. Dan ulama’ menilai wajib mengamalkannya. Akan tetapi para kritikus hadits lebih memilih sebutan ’’ hadits shohihul isnad “ dari pada sebutan “hadits shohih”, karena kawatir matannya syadz atau mu’allal, sehinga yang shohih hanya sanadnya. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kelaziman hubungan antara keshahihin sanad keshahihan matan. Syaikhul Islam Ibn Hajar mengatakan, yang tidak syak lagi adalah seorang imam diantara mereka tidak berlih dengan sebutan ”shahih” kesebutan “shahihul isnad”, kecuali karna alas an tertuntu.8 namun bila yang mengatakan itu adalah perowi yang hafidz lagi bias dipercaya, tanpa menyebut ‘illah qodihah terhadap hadits bersngkutan, maka jelas menunjukkan keshahihan pula.9
Sebagian para ulama’ muta’akhirin ketika menshahihkan sebagian hadits akan mengetakan “shahihul isnad”. Hal ini disebabkan oleh kewira’ian dan kehati-hatian mereka. Namun kita tidak perlu ragu, bahwa yang mereka maksud adalah hadits shahih.

E.     Peran At-Tabi’ dalam analisis kualitas Sanad
Sebelum kita mengetahui lebih jauh peran mutabi’ terhadap kualitas sebuah hadits. Sebaiknya kita terlebuh dahulu mengetahui apakah pengertian at tabi’. Mutabi’ merupakan isim fa’il taba’a yang berarti mengikuti. Sedangkan pengertian terminologinya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berkapasitas sebagai al- mukhorij al- hadits. Di mana hadits itu sesuai dengan hadits yang yang diriwayatkan oleh perawinya. Sedangkan al-mukhorij itu meriwayatkan dari guru perawi pertama atau dari guru-gurunya perawi. Pengertian lain mutabi’ adalah hadits yang rowinya itu ada kesesuaian dengan rowi lain yang berkapasitas sebagi mukharriij al hadits. Di mana rawi kedua meriwayatkan dari guru rawi pertama atau dari guru-gurunya rawi pertama.
Posisi mutabi’ sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadits. Karena ketika ada sebuah hadits yang kurang dari segi sanad, sehingga tidak bisa dapat dikategorikan sebagai hadits shohih maupun hadits hasan, maka ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur lain, posisi hadits yang pertama bisa kuat dan naik menjadi hadits shohih lighoirihi atau hasan lighoirihi. Tsiqah adalah seseorang yang mempunyai sifat ‘adil dan dlobid artinya tidak diragukan kualitas moral maupun intelektualnya.
Hadits shahih terbagi menjadi dua;
1.   Shohih lidzatihi
Shohih lidzatihi adalah sebuah hadits yang mencakup semua syarat hadits shahih dan tingkatan rowi berada pada tingkatan pertama. Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di atas, akan tetapi tingkatan perowi hadits berada pada tingkatan kedua maka hadits tersebut dinamakan hadits Hasan.
2.   Shohih lighoirihi
Hadits ini dinamakan lighoirihi karena keshahihan hadits disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dalam artian hadits yang tidak sampai pada pemenuhan syarat-syarat yang paling tinggi. Yakni dlobid seorang rowi tidak pada tingkatan pertama. Hadits jenis ini merupakan hadits hasan yang mempunyai beberapa penguat. Artinya kekurangan yang dimiliki oleh hadits ini dapat ditutupi dengan adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama, yang diriwayatkan melalui jalur lain.
Menurut Ibnu Sholah memberi alasan karena pada Muhammad bin Amr bin al-Qomah termasuk orang yang lemah dalam hafalan,.kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A’raj bin Humuz dan sa’id al Maqbari maka bias dikategorikan shohih lighirihi.







PENUTUP

Kesimpulan
Hadits shahih lebih sempurna dari pada hadits hasan, karna hadits shahih para perwinya adil,sanadnya bersambung sampei Rosulullah,sempurna hafalannya, kuat ingatannya, tidak janggal dan tidak ada cacat. Sedangkan hadits hasan, bedanya sedikit dengan shahih yaitu: lemah hafalannya tapi yang lain sama.
Meskipun hadits hasan kududukannya dibawah hadits shahih tapi para ulama’ berhujjah bahwa hadits hasan beleh dijadikan sebagai sandaran hukum islam, dalam moral dan aqidah.



DAFTAR PUSTAKA

Al-khotib, DR. Muhammad Ajaj. Ushul al-Hadits : Pokok-pokok Ilmu Hadits. (Gaya Media Pratama: Jakarta). 2001.
An-Nadwi, H. Fadlil Sa’id. Ilmu Mustholah Hadits. (Al-Hidayah:Surabaya).1420 H.
Ahmad, Drs. H. Muhammad-Drs. H.Mudzakir. Ulumul Hadits.(Pustaka Setia :Bandung). 2004.
Zeed B Semeer, H, Lc, MA, 2008, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang : UIN-Malang Press hal.31
Umi Sumbulah, Hj, Dr, M.Ag, 2010, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang : UIN-Maliki Press
Ali Mustofa Ya’kub, 1991, Imam bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet II
Ibn al-Shalah, 1981, ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah
Ibn Madzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Mishriyah, t.th.), jus XIII
Syuhudi Ismail, 1992, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang
Abu Louis Ma;luf, 1986,  Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam Beirut: Dar al-Masyriq cet ke-24


[1]     Zeed B Semeer, H, Lc, MA, 2008, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang : UIN-Malang Press hal.31
[2]     Umi Sumbulah, Hj, Dr, M.Ag, 2010, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang : UIN-Maliki Press hal.112
[3]     Ali Mustofa Ya’kub, Imam bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), cet II, hal.19
[4] Istilah al-tahammul didefinisikan sebagai sebuah kegiatan menerima hadis. Sedangkan ada’ al-hadits dipahami sebagai kegiatan menyampaikan hadits. Lihat Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1981), hal 114-115
[5] Ibn Madzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Mishriyah, t.th.), jus XIII, hal 445-463
[6] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hal. 7-9
[7] Abu Louis Ma;luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), cet ke-24, hal 445.

2 komentar:

TARYANTO WIJAYA mengatakan...

Substansinya bagus, tetapi penulisan dalam ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD) serta ketelitian penulisan kata masih perlu ditingkatkan.

Khalil Nurul Islam mengatakan...

terimakasih telah berbagi ilmu ...