Senin, 13 Mei 2013

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Tentang Demokrasi di Indonesia dengan Sistem Pemerintahan Parlementer dan di Era Reformasi



PENDAHULUAN

Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah cita-cita rakyat Indonesia yang telah berhasil dicapai, walaupun hal itu harus dicapai dengan segala kesulitan dan pengorbanan seluruh rakyat Indonesia pada saat itu. Namun, walaupun telah merdeka dan diakui di mata dunia, bangsa Indonesia pada saat itu harus menentukan masa depannya sendiri. Pada masa itu, disamping kemerdekaan telah diraih, dari sisi lain masih banyak terdapat kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi-tradisi otoriter, maka banyak hal yang bergantung pada kearifan dan nasib baik pemimpin negeri.
Masalah-masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia setelah terlepas dari belenggu penjajah, sisa-sisa penderitaan rakyat mendorong para elite negeri untuk segera melakukan penataan dalam hal pemerintahan dan institusi. Untuk menata dan membangun birokrasi suatu negara yang baru mulai berdiri sangatlah susah, sangat sulit untuk menentukan sistem pemerintahan yang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Untuk itu pada tahun1950 tidak mengherankan bila percobaan demokrasi mengalami kegagalan. Banyak terjadi korupsi, kesatuan wilayah mulai terancam, keadilan sosial belum tecapai, banyaknya persoalan ekonomi yang belum terselesaikan.
Berbicara mengenai demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan pasang surut demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, dengan mempelajari sejarah dan perkembangan demokrasi pasca kemerdekaan (1945-1959) atau demokrasi parlementer, serta pelaksanaannya kita dapat mengambil pelajaran-pelajaran untuk meningkatkan dan memperbaiki sistem pemerintahan yang sesuai untuk diterapkan di negara Indonesia. Bahkan di Era Reformasi


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Demokrasi Parlementer (Liberal)
Demokrasi parlementer (liberal) adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara. Demokrasi liberal dikenal pula sebagai demokrasi  parlementer oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan UUDS 1950.

B.     Sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia Pasca Kemerdekaan (1945-1959)
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut (fluktuasi) dari masa kemerdekaan sampai saat ini, selama 55 tahun perjalanan bangsa dan negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Sebagai tatanan kehidupan, inti tatanan kehidupan yang demokratis secara empiris terkait dengan persoalan pada hubungan antara negara atau pemerintah dengan rakyat, atau sebaliknya hubungan rakyat dengan negara atau pemerintah dalam posisi keseimbangan (equilibrium potition) dan saling melakukan pengawasan (check and balance). Dengan kata lain, posisi keseimbangan antara pemerintah atau negara dengan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menghindari timbulnya tindakan kotor dan anarkis baik dilakukan pemerintah atau negara terhadap rakyatnya, partai politik, militer, maupun oleh rakyat sendiri terhadap negara atau dengan sesama anggota masyarakat.[[1]]
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
­Di Indonesia demokrasi ini dilaksanakan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah No. 14 Nov. 1945. Menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Demokrasi ini lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat represetansi warga negara dan melindunginya dari tindakan kelompok atau negara lain.[[2]]
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik usia kabinet pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun sangat gampang pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang sedang dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalannya demokrasi itu sendiri.[[3]]
Umumnya kabinet pada masa pra-pemilihan yang diadakan dalam tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak memperoleh kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pun pemilihan tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah tidak dapat menghindari perpecahan yang paling gawat antar pemerintah pusat dan beberapa daerah.
Di samping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai “rubber stamp president” (presiden yang membubuhi capnya belaka dan tentara ) yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pada periode ini kedudukan parlemen sangat kuat dan pada gilirannya menguat pula kedudukan partai politik. Karena itu segala hal yang terkait dengan kebijakan negara tidak terlepas dari sikap kritis para anggota parlemen untuk mendebatnya baik melalui forum parlemen untuk mendebatnya baik melalui forum parlemen maupun secara sendiri-sendiri. Salah satu hal yang penting dalam periode ini adalah adanya perdebatan yang tidak berkesudahan yang dilakukan oleh anggota parlemen dari partai yang berbeda. Karena seperti diketahui bahwa pada periode ini tumbuh era multi partai. Era multi partai diikuti oleh adanya alam kebebasan (tumbuhnya paham liberalisme) yang tumbuh pada periode ini.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak mempunyai anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstitusional untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara ketika dalam membahas undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Keluarnya Dekrit Presiden tersebut merupakan intervensi presiden terhadap parlemen. Dengan demikian sejak Dekrit Presiden keluar masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.[[4]]

C.    Ciri-Ciri Demokrasi Parlementer (Liberal)
Ciri-ciri demokrasi parlementer (liberal) yaitu :[[5]]
1.      Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.
2.      Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan Undang-Undang.
3.      Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa)untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departement dan non-departemen.
4.      Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
5.      Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
6.      Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
7.      Kontrol terhadap negara, alokasi sumberdaya alam dan manusia dapat terkontrol.
8.      Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang, unuk memperjuangkan dirinya.

D.    Kelebihan Demokrasi Parlementer (Liberal)
1.      Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
2.      Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
3.      Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
4.      HAM dipegang teguh dan dijunjung tinggi oleh negara

E.     Kelemahan Demokrasi Parlementer (Liberal)
1.      Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayorits dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
2.      Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
3.      Kabinet dapat mngendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal  dari meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat menguasai parlemen.
4.      Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
5.      Multipartai, yang mengakibatkan aspirasi yang belum tersalurkan seluruhnya dengan baik.
6.      Kebebasan mengeluarkan pendapat yang terlalu bebas, sehingga tidak ada pertanggungjawabannya.

F.     Kegagalan Demokrasi Liberal (Parlementer)
Penyebab kegagalan :
1.      Dominannya politik aliran, artinya berbagai golongan politik dan partai politik sangat mementingkan kelompok atau alirannya sendiri daripada mengutamakan kepentingan bangsa.
2.      Landasan sosial ekonomi rakyat yang masih rendah.
3.      Tidak mempunyai para anggota konstituante bersidang dalam menetapkan dasar negara sehingga keadaan menjadi berlarut-larut.
4.      Instabilitas Negara karena terlalu sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini menjadikan pemerintah tidak berjalan secara efisien sehingga perekonomian Indonesia sering jatuh dan terinflasi.
5.      Timbul berbagai masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS akibat ketidakstabilan pemerintahan.
6.      Sering terjadi konflik dengan pihak militer seperti pada peristwa 17 Oktober 1952.
7.      Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat lemahnya sistem pemerintahan.
8.      Sering terjadi konflik antar partai politik dalam pemerintahan untuk mendapatkan kekuasaan.
9.      Praktik korupsi meluas. Pada masa ini tidak tindak pidana korupsi tidak bisa ditangani karena dari oknum partai maupun oknum pemerintahan tidak luput dari melakukan korupsi, bahkan mentri luar negri kala itu yang sekaligus sebagai arsitek demokrasi terpimpin juga melakukan korupsi.
10.  Kesejahteraan rakyat terbengkalai karena pemerintah hanya terfokus pada pengembangan bidang politik bukan pada ekonomi.[[6]]

G.    Demokrasi di Era Reformasi
Demokrasi yang dikembangkan pada masa reformasi pada dasarnya adalah
demokrasi dengan mendasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, dengan
penyempurnaan pelaksanaannya dan perbaikan peraturan-peraturan yang tidak
demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi Negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Demokrasi Indonesia saat ini telah dimulai dengan terbentuknya DPR – MPR hasil Pemilu 1999 yang telah memilih presiden dan wakil presiden serta terbentuknya lembaga-lembaga tinggi yang lain.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
1.      Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
2.      Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum
3.      Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
4.      Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI
5.      Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV
6.      Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah dua kali yaitu tahun 1999 dan tahun 2004
Gerakan reformasi membawa perubahan-perubahan dalam bidang politik dan usaha penegakkan kedaulatan rakyat, serta meningkatkan peran serta masyarakat dan mengurangi dominasi pemerintah dalam kehidupan politik.
Pelaksanaan demokrasi pada masa reformasi pada dasarnya adalah demokrasi dengan mendasarkan pada UUD 1945 yang telah diamandemen oleh MPR.  Dengan penyempurnaan pelaksanaannya, meningkatkan peran lembaga-lembaga negara dengan menegakkan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan, (check and balance system ) yang jelas antar lembaga-lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif tidak ada kekuasaan berlebih pada salah satu lembaga, seperti berikut :
1.      Presiden dan wakil Presiden dipilih dengan masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali satu kali jabatan yang sama.
2.      DPA  dihapuskan
3.      Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu.
Demokrasi Indonesia saat ini telah dimulai dengan hasil pemilu. Nuansa demokrasi sangat terasa dalam era reformasi ini, terutama dalam hal penegakkan HAM dan usaha recovery ekonomi dan kemandirian bangsa.





PENUTUP

Kesimpulan
1.      Demokrasi liberal adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif.
2.      Ciri-ciri demokrasi Parlementer (liberal) :
a.        Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.
b.      Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan Undang-Undang.
c.       Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa)untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departement dan non-departemen.
d.      Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
e.       Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
f.       Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislative.
g.      Kontrol terhadap negara, alokasi sumberdaya alam dan manusia dapat terkontrol.
h.      Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang, unuk memperjuangkan dirinya.
3.      Kelebihan demokrasi parlementer (liberal) :
a.    Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif.
b.   Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c.    Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
d.   HAM dipegang teguh dan dijunjung tinggi oleh Negara


4.      Kelemahan demokrasi parlementer (liberal) :
a.    Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayorits dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
b.   Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
c.    Kabinet dapat mngendalikan parlemen.
d.   Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.
e.    Multipartai, yang mengakibatkan aspirasi yang belum tersalurkan seluruhnya dengan baik.
f.    Kebebasan mengeluarkan pendapat yang terlalu bebas, sehingga tidak ada pertanggungjawabannya.
5.      Penyebab kegagalan demokrasi parlementer (liberal) :
a.    Dominannya politik aliran
b.   Landasan sosial ekonomi rakyat yang masih rendah.
c.    Tidak mempunyai para anggota konstituante bersidang dalam menetapkan dasar negara sehingga keadaan menjadi berlarut-larut.
d.   Instabilitas Negara karena terlalu sering terjadi pergantian kabinet.
e.    Timbul berbagai masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS akibat ketidakstabilan pemerintahan.
f.    Sering terjadi konflik dengan pihak militer seperti pada peristwa 17 Oktober 1952.
g.   Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat lemahnya sistem pemerintahan.
h.   Sering terjadi konflik antar partai politik dalam pemerintahan untuk mendapatkan kekuasaan.
i.     Praktik korupsi meluas.
j.     Kesejahteraan rakyat terbengkalai karena pemerintah hanya terfokus pada pengembangan bidang politik bukan pada ekonomi


DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2000
Mahfud, Mohammad, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia. Jakarta : PT. Rinneka Cipta, 2003.
PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta : IAIN Jakarta Pers, 2000.
Ubaedillah, A dan Rozak, Abdul, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.




[1] Putri Ayu Asmaningtyas,”Masa Demokrasi Parlementer”,Ayouk91.blogspot,diakses dari http://ayouk91.blogspot.com /2012/01/masa-demokrasi-parlementer.html, pada tanggal 31 Maret 2013
[3] Azyumardi Azra, Pendidikan Kewargaan, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2003),hlm.130.
[4] Puslit IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewargaan (civic education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta, IAIN Jakarta Pers,2000), hlm.177-178.

Tidak ada komentar: