PENDAHULUAN
Mahasiswa yang pada
dasarnya merupakan subjek atau pelaku di dalam pergerakan pembaharuan atau
subjek yang akan menjadi generasi-generasi penerus bangsa dan membangun bangsa
dan tanah air ke arah yang lebih baik dituntut untuk memiliki etika. Etika bagi
mahasiswa dapat menjadi alat kontrol di dalam melakukan suatu tindakan. Etika
dapat menjadi gambaran bagi mahasiswa dalam mengambil suatu keputusan atau
dalam melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Oleh karena itu, makna etika
harus lebih dipahami kembali dan diaplikasikan di dalam lingkungan mahasiswa
yang relitanya lebih banyak mahasiswa yang tidak sadar dan tidak mengetahui
makna etika dan peranan etika itu sendiri, sehingga bermunculanlah
mahasiswa-mahasiswi yang tidak memiliki akhlaqul karimah, seperti mahasiswa
yang tidak memiliki sopan dan santun kepada para dosen, mahasiswa yang lebih
menyukai hidup dengan bebas, mengonsumsi obat-obatan terlarang, pergaulan bebas
antara mahasiswa dengan mahasiswi, berdemonstrasi dengan tidak mengikuti
peraturan yang berlaku bahkan hal terkecil seperti menyontek disaat ujian
dianggap hal biasa padahal menyontek merupakan salah satu hal yang tidak
mengindahkan makna dari etika. Perlu Anda ketahui bahwa realita banyaknya
bermunculan para koruptor di Indonesia disebabkan oleh seseorang yang tidak
memahami arti kata dari iman dan etika. Banyak orang yang beranggapan dan
meyakini para koruptor yang ada sekarang adalah seorang yang dahulunya terbiasa
melakukan tindakan menyontek di saat ujian tanpa merasa bersalah, lebih
tepatnya mencontek memiliki makna yang sama dengan kecurangan. Jadi menyontek
diibaratkan dengan korupsi mengambil hak seseorang tanpa izin dan meraih
sesuatu tanpa memikirkan apakah cara yang digunakannya benar atau salah dan ini
semua berhubungan dengan etika.
Apabila mahasiswa
masih belum menyadari betapa pentingnya etika di dalam pembentukan
karakter-karakter seorang penerus bangsa dan negara, akankah bangsa Indonesia
untuk di masa yang akan datang di isi oleh penerus-penerus bangsa yang berakhlaqul
karimah atau beretika?. Akan diletakkan dimanakah wajah Indonesia nanti apabila
bangsa Indonesia dibangun oleh jiwa-jiwa yang penuh dengan kecurangan atau
dengan akhlaq-akhlaq tercela?.
PEMBAHASAN
A.
PERSOALAN TENTANG NILAI ETIKA
1. Apa yang seharusnya dilakukan
Etika,
cabang Aksiologi yang mempersoalkan predikat nilai ”baik” dan ”buruk” dalam
arti susila, atau tidak susila.
Sebagai
masalah khusus, Etika juga mempersoalkan sifat-sifat yang menyebabkan seseorang
berhak, untuk disebut susila atau bajik. Sifat-sifat tersebut dinamakan
”kebajikan” lawannya ”keburukan”.
2. Ruang Lingkup Etika
Apabila
kita mulai mempelajari etika, 2 hal yang perlu dikatakan :
a. Apabila ditanya ”hasil apa yang diharapkan
dari buku Filsafat ini”, mungkin akan dijawab antara lain : ”Saya mengharapkan
untuk mempelajari bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik”.
b. Apabila didesak lagi, mungkin akan dijawab
antara lain : ”Saya ingin belajar bagaimana cara untuk berbuat baik dan
menghindari keburukan”.
Banyak
pembicaraan tentang Etika yang tidak pernah menyinggung masalah yang
sebenarnya, karena banyak yang mendasarkan diri pada prinsip pembenaran yang
sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada kefaedahan, pencegahan
keburukan dan lain sebagainya.
Etika lebih
menaruh perhatian pada pembicaraan tengtng prinsip pembenaran daripada tentang
keputusan yang sungguh-sungguh telah diadakan.
Etika tidak
akan memberikan kepada Anda arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap
tentang bagaimana caranya untuk hidup dengan bajik.
3. Kesusilaan dan Ketidaksusilaan
Kesusilaan
dan ketidaksusilaan tidak hanya bersangkutan dengan tingkah-laku dalam masalah
seksual semata-mata. Mencuri, berbuat tidak adil, kejam dan sebagainya dapat
dipandang sebagai tindakan orang yang tidak susila.
Suatu
kenyataan bahwa persoalan tentang hidup manusia yang paling fundamental ini,
masih begitu jauh dari penyelesaian, meskipun persoalan itu merupakan persoalan
yang paling umum terjadi dan yang paling menarik perhatian.
4. Arti etika
Etika dipergunakan dalam dua
arti :
a. Terlihat dalam pernyataan seperti ”Saya
mempelajarai Etika”. Dalam penggunaan ini Etika dimaksudkan sebagai suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian perbuatan, yang dilakukan orang-orang.
b. Istilah Etika, terjadi bila orang
mengatakan : ”Ia seoarang yang bersifat Etis”, ”Ia seorang yang adil”, atau
”Pembunuhan dan Bohong itu tidak susila”.
Dalam hal
ini ”Etis” adalah suatu predikat yang dipergunakan untuk memperbedakan
barang-barang, perbuatan-perbuatan, atau orang-orang tertentu dengan yang lain.
”Etis” dalam
artin ini sama dengan ”susila” (moral).
Hendaknya
diingat, untuk dinamakan bersifat susila tidak perlu sama dengan atau sesuai
dengan kebiasaan yang tetap dari suatu kelompok manusia. Karena mungkin juga
kita dapat mencap salahsatu diantara kebiasaan yang tetap itu sendiri sebagai
sesuatu yang tidak susila.
Etika sebgai
ilmu munkin menyelidiki tentang: tanggapan kesusilaan. Etika sebaga Etika
normatif bersangkutan dengan membuat tanggapan.
Dibedakan
antara :
a. Berbicara mengenai istilah etika,
b. Berbicara dalam istilah etika.
a. 1) Etika Deskriptif
Ilmu
pengetahuan (Etika) semata-mata bersifat deskriptif dan hanya berusaha untuk
membuat deskripsi yang cermat. Etika deskriptif mungkin merupakan suatu cabang
sosiologi, tetapi ilmu tersebut penting bila kita mempelajari Etika untuk
mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik.
Ini
membantu menghindari pandangan yang sempit, tetapi perbedaan yang besar di
dalam praktek kesusilaan juga mengakibatkan timbulnya teori bahwa tanggapan
kesusilaan itu melulu bersifat relatif terhadap kebudayaan yang di dalamnya
orang mengadakan tanggapan tersebut.
Etika
deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak,
predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan.
Berhubung dengan itu, Ilmu ini tidak dapat membicarakan tentang ukuran-ukuran
bagi tanggapan kesusilaan yang baik, meskipun kadang-kadang Etikda deskriptif
mencampuradukkan antara menerima suatu tanggapan kesusilaan dengan
kesebenarannya.
Singkatnya,
Etika deskript hanya melukiskan tentang predikat dan tanggapan kesusilaan yang
telah diterima dan dipakai.
2) Etika Normatif
Etika
dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat
dipakai untuk menganggapi atau menilai perbuatan. Menerangkan tentang apa yang
seharusnya terjadi dan apa yang harus dilakukan, dan memungkinkan kia untuk
mengukur dengan apa yang seharusnya terjadi.
Etika
normatif bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang benar.
b. 1) Etika Kefilsafatan
Untuk
mempertahankan pengertian Etika sebagai suatau Ilmu, tetapi menghindari untuk
menjabarkannya menjadi sosiologi, maka ada orang-orang yang berbicara tentang
Etika Kefilsafatan.
Analisa
tentang apa yang orang maksudkan bilamana mempegunakan predikat-predikat
kesusilaan. Analisa itu diperoleh dengan mengadakan penyelidikan tentang
penggunaan yang sesungguhnya dari predikat-predikat yang terdapat di dalam
pernyataan-pernyataan.
2) Etika Praktis
Dicontohkan
dilema yang dihadapi oleh seorang dokter yang menghadapi pasien yang sedang
sekarat.
Persoalannya :
-
Dokter
dapat membunuh pasien, dengan demikian melepaskannya dari rasa sakit derita.
-
Timbul
pertanyaan: ”Apakah baik bagi saya sebagai seorang dokter untuk membunuh pasien
saya?”.
-
Diandaikan
bahwa pasien itu minta dibunuh dan semua anggota keluarganya setuju.
-
Hidup
adalah milik Tuhan, apa hak dokter untuk mencabutnya.
-
Tetapi
bagaimana dengan kemungkinan berakhirnya rasa sakit yang berarti kebahagiaan,
dengan ”membunuh” semua itu akan terjadi.
-
Dokter
tidak berhak membunuh, bagaimanapun keadaan pasien tersebut.
Disinilah diperlulkan Etika
Praktis.
5. Persoalan Etika
a. Prinsip apakah yang dapat ditetapkan,
untuk ”dapat” membuat tanggapan kesusilaan?
(Dalam setiap persoalan Etika
yang praktis, kesulitan yang dihadapi ialah untuk mencapai suatu keputusan
mengenai perbuatna apa yang harus dilakukan). Ini merupakan persoalan yang ke-2
(b) dibawah ini, yaitu :
b. Apakah perbuatan yang baik itu berati
perbuatan yang dapat dibenarkan secara kesusilaan?
Catatan :
Apabila dalam persoalan 1 (a),
perkataan dapat yang kedua ditiadakan, maka penyelidikannya dapat dipersempit
menjadi bidang Etika Deskriptif; apabila dapat tersebut diubah menjadi
seharusnya, kita bersangkutan dengan Etika Normatif. Dalam hal yang terakhir
ini, kita dapat mengajukan pertanyaan ke-3 (c) dibawah ini, yaitu:
c. Apakah arti ”seharusnya” dan apakah yang
menjadi sumber keharusan ini.
Persoalan ke-2 (b) dapat
dijawab secara dangkal dengan mengatakan bahwa suatu perbuatan adalah baik
apabila perbuatan itu sesuai dengan prinsip kesusilaan. Yang berarti
mmpersempit persoalan Etika seluruhnya. Banyak teorai Etika dewasa ini,
mendekati persoalan dari suatu analisa tentang arti yang dikandung oleh
predikat-predikat keseilaan, baik, benar, seharusnya, wajib; dan lawannya :
d. Apakah tanggapan kesusilaan itu dapat
diverifikasi, dan jika dapat bagaimana caranya?
e. Arti apakah yang dikandung oleh
predikat-predikat nilai itu.
- Mencakup pertanyaan mengenai
arti ”seharusnya”.
6. Tanggapan Kesusilaan Hanya Ungkapan Emosi?
”Pembunuhan
adalah sesuatu yang buruk dan tidak boleh dilakukan”.
Terdiri dari 2 pernyataan :
a. ”Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk”.
b. ”Pembunuhan tidak boleh dilakukan”.
Kalimat kognitif terdiri dari
2 macam :
a. Kalimat kognitif yang kebenarannya
tergantung pada arti yang dikandung oleh istilahnya atau kalimat analitis.
b. Kalimat kognitif yang kebenarannya
tergantung pada sesuatu pengamatan empirik atau indera, atau kalimat sintetis.
Contoh :
”Hujan Turun”, merupakan
kalimat sintetis-empiris.
”Sebuah segitiga mempunyai
tiga sisi”, merupakan kalimat analitis, dengan jalan definisi.
Tetapi apabila diajukan
kalimat :
”Alangkah indah terbenamnya
matahari”.
”Ini memuakkan”, di sini ada
reaksi psikologis (emosional).
Kembali kita perhatikan
kalimat :
”Pembunuhan adalah sesuatu
yang buruk”.
”Pembunuhan tidak boleh
dilakukan”.
Faham
positivisme akan mengatakan, kalimat yang pertama itu bersifat empiris, namun
kalimat kedua tidaklah demikian, karena kalimat yang kedua itu hanya mengulangi
apa yang telah terkandung di dalam kalimat yang pertama. Dengan jalan definisi
”keburukan” adalah ”sesuatu yang tidak boleh dilakukan”. Kalimat yang kedua,
itu secara analitis diakibatkan oleh kalimat yang pertama.
Kita
mengetahui bahwa ”keburukan (sesuatu yang buruk)” mengandung arti ”sesuatu yang
tidak boleh dilakukan”.
Jika ada
yang menunjukkan sesuatu yang ia katakan ”buruk” dan sekaligus mengatakan bahwa
hal itu harus dilakukan, maka dikatakan bahwa:
1) Apa yang dikatakan itu tidak merupakan
keburukan.
2) Dalam keadaan yang sangat khusus, apa yang
dikatakan tidak benar-benar buruk.
Dan akan
dikatakan bahwa apabila apa yang dikatakan itu benar-benar buruk, maka hal itu
tidak boleh dilakukan. Tidak berarti bahwa ”buruk” dan ”tidak boleh dilakukan”
itu scara analitis berhubungan, sehingga tidak dapat menolak yang satu dan menerima
yang lain.
Bagaimana
status kalimat:
”Pembunuhan adalah sesuatu
yang buruk”.
Di sini
tidak ditanyakan apakah pernyataan itu benar atau salah. Yang ditanyakan ialah
apakah pernyataan itu merupakan suatu kalimat analitis, ataukah sintetis.
Bagaimana cara orang
menggunakan kalimat tersebut?
Jawaban atas pertanyaan ini
dapaat memberikan suatu metode untuk mengadakan verifikasi, terhadap kalimat
itu.
”Buruk”
tidak merupakan bagian dari ”pembunuhan”. Mungkin pernyataan itu tidak bersifat
analitis. Apakah sifatnya sintetis, artinya dapatkah pernyataan itu dikuatkan
dengan jalan pengamatan empirik?
”Pembunuhan
adalah sesuatu yang buruk” itu mengandung arti, tetapi hanya sebagai suatu
ungkapan emosi Anda. Ngeri, tidak suka, dan lain sebagainya, diungkapkan sebagai
suatu ”tanggapan”. (Kattsoff, 1985 : Bab.XVI).
B.
PERSOALAN ETIKA TEORITIK DAN NORMATIF
1. Persoalan Etika Teoritik.
a. Etika teoritik membahas tentang asas-asas
yang melandasi sistem kesusilaan.
Etika Praktik: Etika terapan
membicarakan masalah-masalah kesusilaan yang konkrit.
Etika
terapan membutuhkan banyak pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi manusia
sehari-hari. Contoh: Masalah yang menyangkut pencemaran lingkungan tidak
mungkin dapat semata-mata diselesaikan oleh ahli kesusilaan.
Suatu
penalaran yang bersifat kesusilaan mencakup baik premise yang bercorak
kesusilaan, maupun yang bercorak kenyataan empirik. Ditinjau dari segi teori
mungkin saja ada penalaran yang semata-mata menggunakan premise yang bercorak
kesusilaan, namun dalam kenyataannya jarang terdapat.
1) Salah satu di antara persoalan yang
terdapat dalam Etika Teoritik adalah berbentuk pernyataan. Apakah dapat
dikatakan bahwa pada diri ummat manusia terdapat keseragaman asasi dalam hal
keyakinan kemanusiaan? Apakah pada dasarnya manusia mempunyai pendirian yang
sama tentang baik dan buruk? Tingkat pertama tentu akan mendapat jawaban
ingkar. Memang setiap manusia itu mempunyai pendirian di bidang kesusilaan,
tetapi pertanyaan mengenai mana yang baik mana yang buruk tidak memperolah
jawaban yang sama di setiap tempat. Namun demi membela pendapat bahwa ada suatu
kesusilaan yang bersifat ”alami” yang merupakan ciri khas mausia, perlu
diajukan alasan-alasan kuat untuk membenarkannya.
Pertama. Kesimpulan yang
bersifat kesusilaan, tidak hanya tergantung pada premise yang bercorak
kesusilaan, tetapi juga pada premise empirik. Sehingga ada kemungkinan besar
bahwa perbedaan yang terdapat dalam hal pendirian di bidang kesusilaan tidak
terletak pada perbedaan keyakinan kesusilaan yang asasi, melainkan pada perbedaan
pandangan terhadap/mengenai keadaan/kejadian yang bersifat empirik. Tetapi
kemudian menarik kesimpulan kesusilaan yang berbeda berdasarkan perbedaan
pandangan terhadap hal-hal yang bersifat empirik. Seandainya hal tersebut
benar, hari depan ummat manusia adalah cerah. Dengan bertambah banyaknya
pengetahuan kita yang bersifat ilmiah tentang keadaan/kejadian yang bersifat
empirik, dan dengan usaha menyebarluaskan pengetahuan tersebut ke seluruh
dunia, kiranya dapat diterapkan bahwa dalam hal pendirian kesusilaan ummat
manusia akan saling sepakat.
Kedua. Diakui bahwa manusia
berbeda keyakinan dalam bidang kesusilaan, dan dalam hal ini pendapat itu
berkembang. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, manusia akan sampai pada
pandangan kesusilaan (ideal) yang semakin sama.
Ketiga. Dikatakan pula bahwa
memang di antara ummat manusia, kita dapati perbedaan dalam hal keyakinan
kesusilaan yang untuk sementara belum dapat tumbuh saling mendekati, tetapi
sesungguhnya perbedaan tersebut tidaklah sebesar yang disangka orang. Karena
sesungguhnya apa yang mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah dan apa yang
berbeda dalam suatu lingkungan kebudayaan yang lain, bukanlah nilai-nilainya
sendiri, melainkan yang berubah dan yang berbeda itu ialah pandangan manusia
tentang tata urutan nilai. Nilai-nilai yang dihargai tinggi dalam suatu
lingkungan kebudayaan tertentu, biasanya juga ditentukan oleh lingkungan.
2) Persoalan lain, ialah bersangkutan dengan
kebebasan manusia dan persoalan determinisme. Determinisme mengatakan bahwa
segala sesuatu sudah ditentukan berdasarkan hukum sebab-akibat, dan ini harus
pula diterapkan dalam Etika.
Dalam hal
ini harus diakui bahwa manusia mengira melakukan perbuatan secara bebas, namun
keadaan tersebut bersifat semu.
Sesungguhnya
perbuatan yang dilakukan sepenuhnya ditentukan oleh pelbagai macam motif. Di
samping itu watak kita ditentukan oleh asal0usul keturunan, lingkungan, dan
lain sebagainya.
Di lain
pihak pendapat lain mengatakan bahwa tidak mungkin ada perbuatan kesusilaan
apabila orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan tadi. ”Ought implies can”.
Terdapat
pelbagai bentuk Determinisme. Contoh: Determinisme Naturalistik, terutama
didapati pad apenulis roman pada akhir abad ke-19. manusia dipandang sebagai
hasil terakhir dari asal-usulnya dan dari lingkungannya.
-
Determinisme
keekonomian, misal: Marxisme, gagasan yang dipunyai oleh manusia, perbuatan
yang dilakukan ditentukan oleh keadaan ekonominya.
-
Determinisme
Metafisik, misal pada Benedictus de spinosa, yang mengatakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam seharah dunia berlangsung secara niscaya (mau tak
mau pasti terdapat/terjadi) dan segala-galanya difahamkan sebagai Tuhan.
-
Determinisme
keagamaan, yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang melakukan perbuatan apa saja
itu (pada hakikatnya) adalah Tuhan. Contoh: Augustinus dan Calvin, yang
menegaskan berhasilnya usaha penyelamatan jiwa manusia yang di dalamnya manusia
turut ambil bagian, sepenuhnya hasil pemberian karunia oleh Tuhan.
Sedangkan
yang termasuk tokoh Indeterminisme serta faham kebebasan manusia antara lain
Immanuel Kant dan Jean Paur Sartre. Kant tidak memungkiri bahwa segala sesuatu
yang tedapat dalam dunia, gejala-gejalanya ditentukan oleh berlakunya hukum
sebab-akibat.
Tetapi
sebaliknya, kita harus pula bertitik-tolak dari pandangan bahwa manusia itu
merupakan makhluk kesusilaan, dengan pandangan dasar bahwa manusia it makhluk
yang bebas.
Kant
mengajarkan bahwa di samping dunia gejala, yaitu sebagaimana yang terhampar di
depan kita, terdapat dunia yang adanya tidak tergantung pada manusia sebagai
subjek pengetahuan. Ajaran yang demikian ini, menyebabkan ia dapat
menyelesaikan persoalan kebebasan dan determinisme sebagai berikut:
Di dalam dunia gejala manusia
sepenuhnya ditentukan oleh berlakunya hukum sebab-akibat sedangkan di dalam
dunia yang adanya tidak tergantung dan diketahui atau tidak oleh manusia,
manusia itu memiliki kebebasannya.
Sartre dan
sebagian besar penganut Eksistensialisme mengakhui bahwa manusia itu sejak
semula sudah ditentukan untuk berada di dalam situasi tertentu, yaitu:
a) Tempat tinggal (My Place)
Tempat tinggal merupakan temat
kita berada dan mempengaruhi struktur eksistensi kita
b) Masa Lampau (My Past)
Masa lampau kita, yang tidak
mungkin dapat kita hilangkan
c) Lingkungan (My Environment)
d) Sesama (My Fellowman)
e) Kematian (My Death)[1]
Meskipun
demikian, manusia itu seakan-akan dijatuhi hukuman dalam bentuk kebebasan
(Condemnedto be free) dan sikap yag dapat diminta pertanggungjawaban atas
perbuatannya. Meskipun manusia itu terikat oleh sistuasi yang di dalamnya ia
berada, namun ia harus merencanakan sendiri kehidupannya. Rencana inilah yang
harus dipertanggungjawabkan. Kesalahan dan atau ketepatan tergantung dalam hal
melakukan pilihan.
b. Apakah perbuatan kesusilaan tergantung
pada pandangan dunia? Apakah tergantung pada pandangan dunia yang kita anut?
Secara sepintas orang cenderung untuk meng-iyakan. Bukanlah perbuatan kita
diarahkan oleh pemikiran kita tentang manusia dan dunia.
Contoh: Sebagai orang Islam
kita akan memperlakukan sesama manusia sesuai dengan konsep Islam tentang
manusia.
Namun sesungguhnya yang
menjadi masalahnya, lebih rumit dari yang terfikir secara dangkal. Ternyata
orang yang berlainan pandangan hidup, dan pandangan dunia,, ternyata dapat juga
pada akhirnya mempunyai pandangan kesusilaan yang sama. Itu berarti:
1) Pandangan dunia, merupakan sumber ilham,
tetapi bukan merupakan sumber bahan keterangan bagi manusia.
2) Dapat memberi daya kepada manusia untuk
hidup secara baik, tetapi tidak mengatakan tentang apakah yang disebut baik
itu.
Tetapi persoalannya adalah:
Perbuatan kesusilaan di
samping ditentukan oleh pandangan tentang kenyataan empirik, juga oleh
pandangan tata urutan nilai. Pandangan kita tentang tata urutan nilai tersebut
sudah tentu ditentukan oleh pandangan dunia serta pandangan keagamaan kita.
Tetapi kenyataannya pandangan
dunia yang berlainan dapat sampai pada pandangan tentang tata urutan nilai yang
kurang lebih sama. Secara demikian dapat terjadi bahwa penganut Islam, Kristen,
Budha, bahkan Humanisme, Marxisme sama-sama memberikan nilai pokok pada manusia
sebagai makhluk yang berkepribadian dan yang meiliki kebebasan.
Tetapi juga sering terjadi
bahwa perbedaan dalam hal padnagan kesusilaan tergambar dalam pandangan dunia
yang berlainan. Disebabkan karena baik pandangan kesusilaan, maupun pandangan
dunia masing-masing merupakan kebulatan sendiri-sendiri, sehingga mengakibatkan
perbedaan yang besar apabila yang mendapat titik berat ialah bagian-bagian
tertentu dalam pandangan dunia yang bersangkutan.
Catatan:
Pandangan Dunia
(Weltanschauung) yang dimaksud adalah cara manusia memandang, serta memberi
tanggapan terhadap dunia serta maknanya dan terhadap kehidupan mausia.
Persoalan terpenting yang
terdapat dalam Etika Teoritik ialah bagaimana cara orang menyusun sistem
kesusilaannya. Dengan kata lain, yang dipertanyakan ialah mengenai dasar-dasar
sisterm tersebut. Apakah yang menjadikan suatu perbuatan atau suatu maksud
tertentu, merupakan perbuatan dan maksud yang baik. Apakah kenikmatan hidup,
faedah, wajib hidup, dan lain-lainnya.
Sesungguhnya tidak ada satu
pun sistem kesusilaan yang dapat menggantikan/menyisihkan tanggung jawab
pribadi sesorang. Oleh karena itu Filsafat Kesusilaan (Etika) merupakan suatu
bidang yang secara sadar atau tidak harus diusahakan oleh setiap orang.
c. Disamping ada Etika individual yaitu Etika
yang menyangkut manusia sebagai perorangan saja, ada Etika sosial yang
menyangkut hubungan antar perorangan.
Di samping
Etika membicarakan peningkatan kualitas manusia perorangan, juga mempersoalkan
umpamanya hubungan yang ada di lingkungan keluarga, problema perang, dan
sebagainya.
Tetapi dua
bagia Etika tersebut tidak dapat dipisahkan, walaupun dapat dibedakan. Bahkan
pembedaannya sukar diterapkan. Sebab perorangn itu selalu tetap perorangan
dalam masyarakat. Di lain fihak manusia sebagai ”Aku” yang unik, dan
eksistensi, juga tidak ada seorang pun yang berdiri sendiri.
Demikianlah
tetap dibedakan Etika Individual sebagai ajaran tentang sikap tingkah-laku
perbuatan yang baik bagi perorangan dan Etika Sosial sebagai ajaran yang sama
bagi perorangan sebagai bagian dari kesatuan yang lebih besar.
Masalah yang Timbul Dalam
Etika Sosial.
1) Tujuan Etika itu memberitahukan, bagaimana
kita dapat menolong manusia di dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang
susila dapat dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang Etikus
Sosial tidak hanya harus tahu norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia
harus tahu pula kebutuhan yang tersebut tadi, dan sebab-sebab timbulnya kebutuhan
tadi.
2) Dalam Etika Sosial lebih mudah timbul
beragam padnagan dibandingkan Etika Individual. Norma-norma harus selalu
diterapkan pada keadaan yang konkrit, setiap norma menjelmakan kewajiban.
Kewajiban yang paling umum itu melakukan kebaikan.
Dalam kenyataan
terbukti bahwa tidak hanya ada satu kewajiban, melainkan berbagai kewajiban.
Sebabnya, di dunia ini tidak hanya satu, tetapi ada beragam norma.
Wajib yang
beragam itu tidak terlepas satu sama lain, tetapi bersatu dan berkaitan dan
membentuk sistem hirarki norma. Inilah yang dicoba untuk memecahkan persoalan
apabila ada benturan norma atau benturan kewajiban. Pengetahuan dan kesadaran
terhadap hirarki mana yang lebih tinggi sangat diperlukan dalam rangka ini.
Pada
umumnya, yang mempunyai nilai kebenaran lebih ”besar”, ”luas”, tingkatannya
lebih tinggi.
1. Persoalan Etika Normatif
Etika
Normatif, sebenarnya merupakan sebuah aturan yang mengarahkan secara konkrit,
tentang bagaiamana seharusnya tingkah laku.
Konsep
keadilan itu baik, persahabatan itu baik, kebencian, permusuhan itu buruk yang
semuanya masih bersifat abstrak universal, memerlukan penjabaran kriterianya.
Persoalan
yang timbul adalah analisa meta-etika yang menanyakan relevansi Etika normatif,
dalam kedudukannya sebagai Etika makro. Pengalaman mengajarkan begitu nilai
dasar dinormakan, maka akan kehilangan makna. Apakah pada dasarnya nilai-nilai
dasar tidak membutuhkan ”pelembagaan” khusus.
Kalau
kesan tersebut benar, sepatutnya kedudukan Etika normatif ditinjau kembali
sebagai pedoman.
Persoalan
baru yang muncul, atas dasar apa perbuatan manusia dinilai. Manusia tidak dapat
hidup tanpa pedoman. Benturan antara kebutuhan terhadap Etika Normatif dengan
keterbatasannya mengisyaratkan adanya kaitan meta-etika dalam persoalan Etika
Normatif.
2. Persoalan yang ingin dipecahkan adalah
kenyataan bahwa masalah meta-etika memang tidak selalu menjamin kelurusan Etika
Normatif, tetapi paling tidak ia tetap berfungsi sebagai petunjuk. Khususnya
ketika suatu nilai dasar, sudah mulai dibuat sebagai norma yag tertutup. Etika
Normatif yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk, menjadi bergerak ke arah
sebaliknya.
Persoalan lain adalah
menyangkut datangnya nilai dasar itu sendiri.
a. Tinjuan Teori-teori Dasar Etika Normatif
1) Ditinjau asal kejadiannya, Etika Normatif
berkisar dalam dua pola dasar.
Pertama:
Teori
Deontologis (Yunani: Deon, yang diharuskan, yang wajib) mengatakan bahwa betul
salahnya tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu
melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja waib.
Kedua:
Teori
Teleologis (Yunani: telos, Tujuan) mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan
justru tergantung dari akibat-akibatnya: kalau akibatnya baik, boleh atau
bahkan wajib melakukan, kalau akibatnya buruk, tidak boleh.
Ketentuan-ketentuan:
Teori
Deontologis, kelemahannya justru pada sifat mengharuskannya yang tidak dapat
ditawar-tawar. Tentu saja kaidah seperti itu hanya akan menghilangkan keluwesan
dalam menanggapi perubahan situasi, atau perkembangan waktu. Ekstrimnya, telah
mendidik manusia bersikap fanatisme buta. Di samping itu teori Deontologis
tidak mampu memecahkan dilema etis. Contoh: Jangan membunuh orang lain.
Lalu bagaimana kalau orang itu gila, mengamuk dan membunuh banyak orang.
Situasinya hanya mengharuskan satu pilihan, orang itu harus dibunuh.
Kelemahan Teori Teleologis
- Menghilangkan dasar yang membawa
kepastian. Setiap alternatif baru yang mnguntungkan (akibatnya) adapat diakui
sebagai normanya.
- Tidak mempunyai ketegasan
- Mudah terjebak pada kaidah untuk
menghalalkan segala cara.
Sehingga
merampok, membunuh, memperkosa dapat dibenarkan apabila tujuannya baik.
Antara teori
deontologis dengan teori teleologis, saling dapat mengisi kelemahan
masing-masing. Situasi khusus dari teori teleologis, dapat dijadikan dasar
pertimbangan, interprestasi dari deontoligs. Sebaliknya, kekhasan deontologis
dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan teleologis, agar kepastian dalam menaggapi
realitas dapat ditemui.
2) Ditinjau dari sudut aspirasinya, ada dua
pokok yang dapat digolongkan:
Pertama:
Sistem Etika
yang dibangun dari ”aspirasi atas”, disusun dari sesuatu yang transenden yang
telah diakui kekuatan dan kebenarannya. Vertikal dan berlakuya mutlak. Sering
ditemui dalam Etika keagamaanm yang melibatkan Tuhan dalam kerangka moralnya.
Model ini mempunyai kelebihan dalam menjawab batas defintif kemanusiaan, yaitu
maut dan kehidupan sesudahnya. Disebut ”Heteronomos” (Adam Schaaf),- Adanya
faktor luas kekuatan manusia manusia yang ikut campur dalam memecahkan problem
manusia.
Kedua:
Sistem etika
yang disusun melalui ”aspirasi bawah”.
Yang menjadi
landasan dalam fenomena dan realita eksistensi manusia. Menurut sistem ini
tidak mungkin manusia, akan tepat mengarahkan dirina, jika ia tidak berangkat
dari pengalaman hidupnya. Disebut ”Autuonos” melalui ”experience vacue”
(Bergson).
Persoalan :
Dari sudut agama, etika heteronomos tidak ada masalah. Soalnya menjadi lain dengan tinjauan filosofik.
Dari sudut agama, etika heteronomos tidak ada masalah. Soalnya menjadi lain dengan tinjauan filosofik.
-
Tidak
berlaku bagi orang yang tidak beriman
-
Apakah
kehendak Tuhan itu.
-
Terperangkap
dalam Irasionalisme.
Sistem Etika
Autonomos, terdapat kelemahan:
-
Kecenderungan
humanisme mutlak yang menonjolkan akal, sehingga cederung menhilangkan dimensi
transendental.
-
Rasionalisasi
yang menghilangkan aspek batiniah.
Pemecahan :
Sistem Etika
yang bersendikan rasionalitas mengadung risiko kerelativan dalam berlakunya.
Hanya soalnya bagaimana Etika Keagamaan tidak terjebak pada sikap
irasionalitas. Kerelativan tersebut dapat dihilangkan dengan sendi-sendi
transendental.
b. Alternatif Sistem Etika Normatif
Problem Umum:
1) Sejauh mana Etika Normatif mencerminkan
nilai dasarnya, sehingga terbentuk peta norma moral yang bukan saja merupakan
deretan rumus-rumus yang disodorkan secara baku, begitu saja. Melainkan hasil
olahan nilai dasar dan disajikan secara bijaksana.
2) Sistem Etika, harus menghindarkan
pengertian utopis (Idealisme Abstrak) yang terputus dari aspirasi kenyataan.
Bagaimana nilai dasar dapat diimplementasikan dalam situasi Nyata.
3) Nilai-nilai sebagai aspirasi yang
meliputim dan menjiwai norma. Dalam pelaksanaannya diperhitungkan syarat
pendukung, kemampuan, situasi kondisi pelaksanaan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan
dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan
klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau
dilarang.
2.
Etika Islam merupakan pembahasan yang dikembangkan
sebagai perpaduan antara etika Yunani dan etika yang ada dalam Islam yang
berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan sebuah bentuk
baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak
sebagai konsep-konsep praktis menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian
etika.
3.
Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan
bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu
adalah pengetahuan tentang jiwa.
4.
Akhlak
itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan
mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku
manusia.
5.
Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia
dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan
tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia
mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau
berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Zubair,ahmad charris.1995.kuliah Etika.Jakarta:PT.Raja Grafindo
persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar