PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf
falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan( Ma’rifat)
dengan pendekatan rasio (filsafat) menuju ke tingkat tinggi, dan itu bukan
hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah), melainkan kesatuan wujud (Wihdatul
Wujud). Tasawuf falsafi juga bisa di katakan sebagi tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran orang filsafat,
Lahirnya
tasawuf falsafi ini di mulai dari asal mula pemahaman tasawuf yang
bermacam-macam, sehingga banyak yang mencari tahu untuk mengungkapkan pertama
kali ajaran tasawuf tersebut. Yang pertama, ada yang berpendapat bahwa tasawuf
itu adalah murni ajaran dari islam, bukan berasal dari non islam, dan yang
kedua, ada yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan kombinasi dari ajaran islam
dan non islam, seperti nasrani, Hindu-Budha, Filsafat Barat (gnotisisme).
Sedangkan yang ketiga, ada yang mengungkapkan bahwa tasawuf itu bukan dari
islam atau yang lain, melainkan independent terhadap siapapun yang berkehendak
mengikuti ajaran tasawuf.
Berkembangnya
tasawuf membuat orang-orang sufi menyingkap arti dari tasawuf falsafi itu
seperti halnya Ibnu Al-Arobi, seorang sufi ayng berpendapat bahwa proses segala
sesuatu itu berasal dari yang satu, yaitu kesatuan eksistensial (Wihdatul
Wujud), dimana segala sesuatu tersebut belum ada dan belum terwujud kecuali
Allah sebagi zat semata tanpa sifat dan nama, karena Allah-lah yang awal dan
yang akhir, yang tiada teribaratkan atau termisalkan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawul Falsafi
Tasawuf
mengandung arti cara atau metode untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah,
Sedangkan Falsafi merupakan pemikiran orang-orang filsafat.
Jadi,
tasawuf falsafi merupakan sebuah konsep tasawuf untuk mengenal Tuhan dengan
pendekatan secara rasio (filsafat), hingga dapat menuju ke tingkat yang lebih
tinggi.. bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni, tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam
tasawuf falsafi, metode pendekatanya sangat berbeda dengan tasawuf Sunni atau
tasawuf Salafi. Kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi
praktis, sengkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis, sehingga dalam
konsep-konsepo tasawuf falsafi lebih mengedepankann asas rasio dengan
pendekatan-pendekatan filosofis, yang mana hal ini sulit di aplikasikan kedalam
kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa di katakan
mustahil.
Pada
dasarnya, banyak ahli sufi yang mengartikan pemahaman tasawuf falsafi, namun
dalam hal ini tasawuf pada intinya merupakan sebuah cara atau metode oleh
seorang manusia dengan tujuan agar dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Allah
SWT. Sedangkan arti dari tasawuf falsafi sendiri merupakan sebuah konsep atau
cara yang digunakan untuk mengenal Tuhan secara rasio atau akal, sehingga dapat
mencapai pada tingkat tertinggi, dimana terdapat pemikiran-pemikiran dari para
filsuf
Dengan
kata lain pada intinya semua manusia mempunyai tujuan yang sama secara lahir
dan batin untuk dapat lebih mengenal Tuhanya. Sehinnga manusia tersebut akan
terus berusha melakukan apa yang menjadi keyakinan mereka terhadap pendekatan
itu sendiri.
B.
Latar Belakang Ibnu Araby
Ibnu Araby
bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah
bin Hatim. Beliau biasa dipanggil dengan nama Abu Bakar, Abu Muhammad, dan Abu
Abdullah. Namun beliau terkenal dengan gelar Ibnu ‘Araby Muhyiddin dan al
Hatami. Ia juga mendapat gelar sebagai Syaikhul Akbar dan Sang Kibritul Ahmar.
Beliau lahir pada 17 Ramadhan 560 H / 29
Juli 1165 M di kota Marsia, yaitu ibukota Andalusia Timur.
Ibnu
‘Araby tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi. Ayahnya
tergolong seorang ahli zuhud yang sangat keras menentang hawa nafsu dan
materialisme serta menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak
ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu ‘Araby.
Pada tahun
568 H, keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia. Perpindahan inilah yang
menjadi awal sejarah perubahan kehidupan intelektualisme Ibnu ’Araby, yakni
kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih, dan sastra. Karena itu,
tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar
ilmu-ilmu islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi. Meski
Ibnu ‘Araby belajar pada banyak ulama’, seperti Abu Bakar bin Muhammad bin
Khalaf al lakhmi, Abul Qosim asy Syarroth, dan Ahmad bin Abi Hamzah, Ali bin
Muhammad Ibnl Haq al Isybili, Ibnu Zarqun al Anshori, dan Abdul Mun’im al
Khazraji, serta belajar hadits madzhab Imam Malik dan Ibnu Hazm adz Dzahiry,
namun beliau sama sekali tidak bertaklid sunnah yang berbeda dengan metode yang
ditempuh para pendahulunya. Hamper seluruh penafsirannya diwarnai dengan
penafsiran teosofik yang sangat cemerlang.
Ibnu
al-Arabi merupakan seorang sufi yang terkemuka, sangat sedikit sekali
tokoh-tokoh spiritual muslim yang begitu terkenalnya hingga sampai ke wilayah
Barat sebagaimana yang dicapai oleh Ibnu al-Arabi. Dalam dunia islam
sendiri, tampaknya tidak ada seorang tokoh pun yang begitu memiliki pegaruh
yang begitu luas dan begitu dalam terhadap kehidupan intelektual masyarakatnya
dalam kurun waktu lebih dari 700 tahun.[[1]]
Sufi yang
mempunyai nama lengkap Muhyiddin Ibnu Alarabi ini lahir di Murcia, masuk dalam
wilayah Spanyol tepatnya pada tahun 1165. Ayahnya adalah seorang pegawai
pemerintah pada masa Muhammad ibn Sa’id Mardanish, penguasa Murcia. Dia
memiliki keluarga yang terhormat, karena pamannya (dari pihak ibu) adalah
penguasa Tlemcem, Algeria. Ketika dinasti Almohad (Al-Muwahidin) menyerbu Murcia
pada tahun 567 H/ 1172 M, keluarganya pindah ke Seville, di sana ayahnya
kembali bekerja sebagai pegawai pemerintah dan Ibnu Arabi sendiri memulai
karirnya sebagai sekretaris gubernur, serta disana beliau juga melanjutkan
studinya. Setelah beberapa lama, untuk pertama kalinya beliau meniggalkan
Spanyol dan pergi menuju ke Tunis, tepatnya pada tahun 590 H/1193 M. Disanalah
beliau mulai mendalami tentang sufi hingga pada ahirnya seorang arif
mengajurkan kepada Beliau agar pergi ke Timur untuk melakukan ibadah haji. Pada
tahun 599 H/ 1202 M Ibnu Arabi pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji,
dan dari sanalah beliau mulai melakukan perjalanan ke pusat wilayah islam,
seperti Iraq, Mesir, Syria dan Turki. Hingga akhirnya beliau tiba di Damaskus
dan menetap di sana bersama beberapa muridnya, dan Ibnu Arabi sering
memanfaatkan waktunya untuk belajar, menulis dan mengajar. Sehingga beliau
meniggal, tepatnya pada tahun 1240 M.
Selain
terkenal sebagai seorang ulama sufi yang masyhur, beliau juga dikenal sebagai
seorang penulis yang produktif, jumlah buku yang telah dikarangnya menurut
perhitungan sejarahwan mencapai ebih dai 200 buku, di antaranya ada yang berupa
10 halaman, tetapi ada pula yng berupa ensiklopedia tentang sufisme seperti Futuhah
al-Makkah.
C.
Kesufian Ibnu Araby
Pada
perjalanan intelektualismenya, Ibnu Araby akhirnya menempuh jalan sufi
(tarekat) dari beberapa syekhnya. Setidaknya, ini terlihat dari apa yang ia
tulis dalam salah satu karya monumentalnya, Al-Futuhatul Makkiyah, yang sarat dengan permasalahan sufisme dari
beberapa syekh yang memiliki disiplin dalam
kehidupan duniawi, dan lebih memusatkan pada perhatian ukhrawi. Untuk
kepentingan ini, ia tak jarang melanglang buana demi menuntut ilmu. Beliau menemui
para tokoh arif dan jujur untuk bertukar dan menimba ilmu dari ulama tersebut.
Dan dalam usia yang sangat muda, 20
tahun, Ibnu ‘Araby telah menjadi sufi terkenal.
Menurut
Ibnu Araby, tarekat sufi dibangun diatas empat cabang, yakni : Bawa’its
(instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual), Dawa’i (pilar pendorong ruhani
jiwa), Akhlaq, dan hakikat-hakikat. Sementara komponen pendorongnya ada tiga
hak. Pertama, hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hambaNya dan tidak
dimusyriki sedikitpun. Kedua, hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk
mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan kepada mereka.
Ketiga, hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan yang didalamnya
kebahagiaan dan keselamatannya.
Pemikiran
tasawuf Ibnu ‘Araby dipengaruhi oleh rangkaian panjang pergulatan tradisi yang
melingkupi zaman dan lingkungannya. Mulai dari tradisi Timur, Hellenistik,
Persia, India, Yunani, Kristen, hingga tradisi Yahudi. Tak heran, bila
pemikirannya bersifat eklektis dan filosofis
. Ibnu ‘Araby adalah seorang sufi
dengan pemahaman yng ensiklopedis terhadap khazanah ilmu-ilmu islam.

Hampir
dalam setiap bidang keilmuan dibahas oleh Ibnu ‘Araby. Mulai dari tafsir,
hadits, fikih, kalam, tasawuf, dan falsafah. Tidak mengherankan jika kemudian
beliau mendapat gelar Syaikh al Akbar (guru agung) dan Muhyi al Din (pembangkit
agama). Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa Ibnu ‘Araby merupakan salah
seorang tokoh sufi yang paling berpengaruh dalam sejarah islam sehingga James
Morris, salah seorang pengkaji pemikiran Ibnu ‘Araby yang sangat intensif,
mengatakan bahwa sejarah pemikiran islam setelah Ibnu ‘Araby hanyalah merupakan
catatan kaki atas pemikiran-pemikirannya
.

Ibnu Arabi
merupakan salah satu dari tokoh-tokoh tasawuf falsafi yang terkenal, beliau
mempunyai pandangan atau konsep tersendiri mengenai sufi, beliau menyatakan
sebuah paham yang berbunyi bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya
adalah satu kesatuan wujud, yang mana pada akhirnya paham inilah yang akan
menjadi sentral ajaran dari Ibnu Arabi, yang kemudian akan sering dikenal
dengan istilah Wahdatul wujud.
Wahdat
al-wujud adalah
istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat
artinya sendiri, tunggal, dan kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada[[2]].
Dengan demikian wahdat al-wujud mempunyai arti kesatuan wujud. Kata
wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Sebagian ulama’
terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi
lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik sebagai suatu
kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan forma (bentuk),
antara yang lahir dan yang bathin[[3]].
Adapun pemahaman yang digunakan oleh para sufi selanjutnya mengenai wahdat
al-wujud yaitu sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa antara
manusia dan Tuhan pada hakikatnya memiliki satu kesatuan wujud. Walaupun wahdat
al-wujud merupakan ajaran yang dibawa oleh Ibnu Arabi, tetapi istilah wahdat
al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajarannya itu bukanlah berasal
dari dia, melainkan dari Ibnu Taimiyah, seorang tokoh sufi yang terkenal paling
keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran Ibnu Arabi.
Menurut
Ibnu Arabi, wujud yang ada semua ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud
makhluk adalah wujud khalik juga, tidak ada perbedaan antara keduanya (makhluk
dan khalik) jika dilihat dari segi hakikat[[4]].
Paham ini merujuk kepada timbulnya paham yang menyatakan bahwa antar makhluk
(manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhan.
Dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk
hanyalah bayangan dari khaliq. Landasan paham ini dibangun berdasarkan
pemikiran bahwa Allah SWT sebagai yang diterangkan dalam al-hulul yang berarti
yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa Tuhan dapat mengambil tempat pada diri
manusia. Bahwasannya di dalam alam dan diri manusia terdapat sifat-sifat tuhan,
dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham wahdat al-wujud ini
juga mengatakan bahwa yang ada di dalam alam ini pada dasarnya satu, yaitu satu
keberadaan yang hakiki yang hanya dimiliki oleh Allah SWT.
D.
Pemikiran-Pemikiran Ibnu ‘Araby
Pengaruh
Ibnu ‘Araby dalam bidang tasawuf, khususnya tasawuf falsafi, sangat luar biasa.
Gagasan Ibnu ‘Araby menyebar luas dan memiliki pengikut yang tidak sedikit
jumlahnya.
Menurut
Ibnu ‘Araby, ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh orang yang mempelajari
tasawuf, yaitu : lapar, kurang tidur, tidak banyak bicara, mengisolasi diri,
jujur, tawakkal, sabar, tekun, dan yakin. Sementara yang harus ditolak dalam
tasawuf ada empat hal, yaitu : hasrat, dunia, nafsu, dan syetan. Tasawuf
merupakan salah satu labirin dari berbagai dimensi keberagamaan. Sering
dihadapkan dengan syari’at yang lebih berorientasi pada formalisme beragama,
tasawuf merupakan sebuah upaya menyelami relung terdalam religiusitas.
Dalam
membahas sebuah objek, Ibnu ‘araby terlebih dahulu mengklasifikasikan tentang
cara-cara objek pengetahuan diperoleh. Menurutnya, ada tiga klasifikasi
pengetahuan
:

1.
Pengetahuan
intelektual (‘ilm al aql), yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan segera atau
melalui suatu penyelidikan secara demonetrasional mengikuti prosedur logis.
2.
Pengetahuan
eksperensial, yaitu kesadaran akan keadaan-keadaan bathin fikiran yang hanya
bisa dikomunikasikan setelah merasakan sendiri. Seorang rasionalis tidak bisa
mendefinisikan keadaan-keadaan ini, dan akal juga tidak bisa dijadikan alat
untuk membuktikan kebenaran keadaan ini (misalnya : manisnya madu dan nikmatnya
cinta).
3.
Pengetahuan
tentang yang ghaib (‘ilm al ashrar), yaitu bentuk pengetahuan intelektual yang
transenden yang diraih melalui wahyu atau ilham dari ruh suci (malaikat Jibril)
ke dalam pikiran. Pengetahuan ini terdiri dari dua jenis : yang bisa diterima
oleh akal (melalui prosedur rasional), dan melalui prosedur spiritual.
Dalam
bidang ontologi, salah satu sumbangan pemikiran Ibnu ‘Araby adalah doktrinnya
tentang ketunggalan wujud atau wahdatul wujud. Yaitu sebuah pandangan bahwa tak
ada wujud yang sejati, yang mutlak, yang mencakup semua wujud, kecuali Allah
yang Maha Esa. Kemutlakan wujud Allah akan menenggelamkan wujud-wujud yang
lain. Dengan logika ini, maka makna dari syahadat laailaahaillallah
ialah bahwa saya bersaksi tiada sesuatupun yang memiliki wujud sejati kecuali
Allah. Konsekuensinya, segalanya selain Allah, termasuk manusia dan dunia,
tidak benar-benar ada. Artinya semuanya itu tidak berada secara terpisah dari
Allah dan sepenuhnya bergantung pada Allah. Yang selain Allah itu tampil
sebagai wujud-wujud terpisah semata-mata hanya karena keterbatasan-keterbatasan
persepsi manusia.
Ibnu
‘Araby dalam menjelaskan “wujud yang bergantung” ini menggunakan istilah
“bayangan” dalam sebuah cermin. Gambar dalam sebuah cermin meskipun “ada” dan
“kelihatan”, bagaimanapun juga ia hanyalah ilusi atau bayangan dari aktor yang
bercermin. Dan ketika Sang Aktor menggunakan ribuan cermin maka bayangan Sang
Aktor akan menjadi banyak, padahal hakikatnya tetaplah Satu.
E.
Kontroversi Pemahaman Ibnu Araby
Meski
pemahaman Ibnu ‘Araby telah menyebar luas, tapi tak sedikit yang menilai
pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu ‘Araby, terutama kaum fuqaha’ dan
ahli hadits, sebagai paham yang kontroversial. Sebut saja, misalnya, teorinya
tentang Wahdatul Wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu
sebabnya adalah lantaran dalam karya-karya Ibnu ‘Araby banyak menggunakan
bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam.
Karenanya, tidak sedikit yang menganggap Ibnu ‘Araby telah kufur, misalnya Ibnu
Taimiyah dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebagai “kafir”. Memang pada
akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu ‘Araby setelah bertemu dengan
Taqiyyudin Ibnu ‘Athaillah as Sakandari
asy Syadzili di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora
Ibnu ‘Araby, dan mengatakan bahwa yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu
Araby yang tidak memahami makna sebenarnya dari ajaran Ibnu Araby.
PENYELESAIAN MASALAH
A.
Wahdatul Wujud
Selama ini
sering rancu apakah Wahdatul Wujud itu sama dengan Pantheisme. Konsep Wahdatul
Wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang
hakiki atau mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya
independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan
wujud lain untuk membuatNya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya
Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang
berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak
hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.
Oleh para
sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda dengan
Wujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang berawal, artinya baru ada
pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang baru ada pada saat Big
Bang(terjadinya ledakan besar, yaitu yang dianggap awal mula terjadinya bumi
oleh para ilmuwan), yang oleh para kosmolog diperkirakan terjadi 10 milyar
tahun yang lalu. Oleh karena itu, alam semesta ialah wujud al mukmin, karena
keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah
.

Harus
dipahami bahwa paham Ibnu ‘Araby ini tidak menyamakan segala sesuatu yang
tampak sebagai bukan Allah itu dengan Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan
bahwa manusia adalah Allah dan Allah adalah manusia, maka kita akan jelas-jelas
terjebak ke dalam Pantheisme. Menurut Ibnu ‘Araby, keterbatasan persepsi
manusia telah gagal untuk melihat kaitan intregal antara keberadaan selain
Allah dengan keberadaan Allah sendiri.
Jelas ada
perbedaan prinsipil antara Wahdatul Wujud dengan Pantheisme. Pantheisme
menganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan
Wahdatul Wujud menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Jadi, bagi penganut Pantheisme,
wujud Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan.
Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan Pantheisme ini adalah sesat.
Doktrin
wahdatul wujud Ibnu ‘Araby bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan
yang ada dan mengada (tauhid wujudi). Teori Wahdatul Wujud menekankan pada
unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan
berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dsb. Maka akan timbul
pertanyaan, apa yang membedakan antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya ?
Untuk
menjawab persoalan yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan
unitas wujudiyah yang menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental.
Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud murakkab, dimana keberadaan
entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang
masuk dalam kategori ini pasti akan terbatas. Kedua, maujud Basit, dimana jenis
wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia tidak pernah
terbatas. Wujud ini (maujud Basit) hanya milik Allah SWT saja, dimana wujudnya
merupakan maujudnya itu sendiri
.

Menurut
Ibnu Araby, tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman
langsung (dzauq). Ibnu Araby memandang
pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Menurutnya, saat mencapai
tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan-diri (fana’). Dan
pada saat itulah ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala
sesuatu, yaitu kesatuan antara Yang Mencipta dengan yang dicipta, dan Yang
Abadi dengan yang binasa.
B.
Karya-Karya Ibnu Araby
Ibnu Araby
menghasilkan banyak karya. Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu
Araby mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbgai disiplin ilmu keagamaan dan
umum. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa risalah-risalah kecil Ibnu Araby
mencapai 2000 judul. Diantara semua kitab-kitab yang dikarangnya, Futuhat al
Makkiyah adalah merupakan karya terbesarnya, yang mana di dalamnya terdapat
uraian tentang inti dari ajaran mistismenya. Ada juga Fushus al Hikam yang
membahas tentang penyingkapan hikmah ketuhanan para nabi. Kitab tafsirnya yang
terkenal adalah Tafsir al Kabir yang terdiri atas 90 jilid. Terdapat pula kitab
yang berisi sekumpulan syair-syair cinta spiritual, yaitu Tarjumanul al Asywaq.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ibnu Araby
merupakan tokoh sufi yang berorientasi
pada filsafat (tasawuf falsafi). Menurutnya tarekat sufi dibangun di atas empat
cabang, yaitu: Bawa’its, Dawa’i, Akhlaq, dan Hakikat-hakikat.
Ibnu Araby
sangat dikenal dengan konsep Wahdatul Wujud-nya. Beliau lah mengajarkan bahwa
tidak ada sesuatupun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan
adalah penampakan lahiriyah dariNya.
Perkembangan
puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah di capai dalam konsepsi Wahdatul
Wujud sebagai karya piker mistik ibnu Araby. Sebelum ibnu Arab, sudah muncul teori dari seorang sufi yakni
penyaoir dari mesir ibnu Al-Faridh yang mengembangkan teori yang sama yaitu
Wahda Asy-syuhud.
Tasawuf
falsafi juga di kenal dengan nama tasawuf syi’I karena konsep-konsep tasawuf
falsafi berkembang dari kaum syiah dan bermadzhabkan Mu’tazilah.
Konsep
Wahdatul Wujud adalah bukan merupakan pantheisme. Pantheisme menganggap bahwa
wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan Wahdatul Wujud
menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk
Konsep
Wahdatul Wujud milik ibnu Arabi bukanlah suatu pemikiran yang menyesatkan
pengikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nata,
Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Toriquddin,
Muhammad. 2008. Sekularitas Tasawuf, dalam Dunia Modern. Malang:
UIN-Malang Press.
C.
Chittick, William. 2001. The Sufi Path of Knowledge: Pengetahuan Spiritual
Ibnu al-‘Araby. Yogyakarta: Qalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar