BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma bagipengembangan
budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam di semua segi dari
seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana tercermin
dalam pandangan filsafatnya merupakan kearifan tersendiri, karena kita akan
dapat melacak segi-segi positifnya yang layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi
negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Ditinjau dari sudut sejarah,
filsafat Barat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas
corak pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama, adalah zaman Yunani Kuno,
ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah ditujukannya perhatian
terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan
asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala. Para
filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya,
sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris. Kedua,
adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut
teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk
memperkuat dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran
Eropa pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan
dengan ajaran agama, sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan
dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya.
Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia
sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut
antroposentris. Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang
berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada
otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan
otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada
zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu
sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun,
kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang
mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan
politiknya yang bersifat absolut. Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri
pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus
filsafat.
2. Tujuan
a.
Untuk
melengkapi tugas mata kuliah Pengantar Filsafat
b. Untuk memahami lebih dalam lagi akan arti
filsafat dan sejarah perkembangannya
c.
Sebagai
bahan diskusi
.
3. Metode Penulisan
Kali ini penulis menggunakan metode kepustakaan. Cara yang digunakan pada
penelitian ini adalah Studi Pustaka. Dalam metode ini penulis membaca buku-buku
yang berkaitan dengan penulisan makalah ini.
4. Rumusan Masalah
a.
Menjelaskan
pengertian Rasionalisme dan tokohnya
b. Menjelaskan pengertian Empirisme
dan tokohnya
c.
Menjelaskan pengerteian Kritisisme dan tokohnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RASIONALISME
Aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya
pengetahuan yang diperoleh melalui akal lah yang ememnuhi syarat yang dituntut
oleh sifat umum dan yang perlu mutlak.
Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti
Tokoh-tokoh filsafat rasionalisme diantaranya :
1.
RENE DESCARTES (1596-1650)
Yang memberi alas kepada aliran ini ada RENE DESCARTES atau CARTESIUS (1596-1650) yang juga
disebut ”Bapa Filsafat Modern”. Semula ia belajar pada
sekolah Yesuit dan kemudian ia belajar ilmu hukum, ilmu kedokteran dan ilmu
alam.[[1]] Baru pada tahun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam studinya.
Menurut pendapatnya pada waktu itu ia mendapat wahyu Ilahi, yang isinya
memberitakan kepadanya bahwa ilmu pengetahuan haruslah satu, tanpa bandingnya,
serta harus disusun oleh satu orang sebagai satu bangunan yang berdiri sendiri
menurut satu metode yang umum. Adapun yang harus dipandang sebagai yang benar
adalah apa yang jels dan terpilah (clear and distinctly), artinya, bahwa
gagasan-gagasan/ide-ide seharusnya dapat dibedakan dengen presis dari
gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain. Bukanlah maksud Descartes untuk
mendirikan filsafatnya diatas asas yang logis abstrak, sebab ia memperhatikan
sekali kepada realitas yang ada. Sedang asa yang pertama adalah suatu dalil
yang eksistensial.
Ilmu pasti menjadi suatu contoh bagi cara
mengenal atau mengetahui yang maju. Sekalipun demikian ilmu pasti bukanlah
metode yang sebenarnya bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pasti hanya boleh dipandang
sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu
sndiri adalah lebih umum. Segala gagasan yang kita kenal dari kebiasaan dan
perwarisan atau dari kecenderungan, baru bernilai. Jikalau secara metodis
diperkembangkan dari instuisi yang murni.
Kebenaran memang ada, dan kebenaran dapat
dikenal, asal jiwa kita berusaha untuk membebaskan diri dari isinya yang
semula. Meniadakan jalan dari luar ke dalam dan mulai lagi dengan jalan dari
dalam ke luar. Seperti yang dikemukakan diatas yang harus dipandang sebagai
yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah.[[2]]
Sebagai contoh : kalau kita melihat orang
berjalan-jalan, yang kita lihat pakaiannya, dall. Apa yang kita duga, kita
lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-mata dengan kuasa
penilaian kita yang terdapati di dalam rasio atau akal. Descartes
diharukan oleh ketidak pastian yang terdapat pada zaman itu. Pemikiran
skolastik, seperti yang telah ia terima, ternyata tidak tahu bagaimana harus
menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan Positif yang dihadapinya. Ternyata bahwa
wibawa Aristoteles yang terdapat di dalam skolastik itu menghambat ilmu
pengetahuan. Juga bentuk yang bermacam-macam dari filsafat Renaissance, yang
sering saling bertentangan, tidak berhasil memberi tempat kepada hasil-hasil
ilmu pengetahuan tadi. Pada waktu itu pemikiran orang masih terlalui
dipengaruhi oleh khayalan-khayalan. Seolah-olah Descartes merasa terdorong
untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional dan segala gagasan
filsafati yang ada pada zamannya. Untuk dapat mulai hal-hal yang baru itu ia
harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal pemikiran yang pasti
itu menurut dia adalah melalui keragu-raguan.[[3]].
Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan,
yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Ini bukan khayalan
melainkan kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir dan oleh karena aku
berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum).
Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut
kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophicum). Aku berada karena
aku berpikir. Jadi aku adalah suatu yang berpikir cogito (aku berpikir)
adalah pasti, sebab cogito “jelas dan terpilah-pilah”.[[4]]
Bagi manusia pertama-tama yang jelas dan
terpilah-pilah adalah pengertian “Allah” sebagai tokoh yang secara sempurna tidak
terbatas atau berada dimana-mana/ di dalam roh kita ada suatu pengertian
tentang sesuatu yang tiada batasnya. Oleh karena kita sendiri adalah makhluk
yang terbatas. Maka tidak mungkin bahwa pengertian tentang sesuatu yang tiada
batasnya itu adalah hasil pemikiran kita sendiri.[[5]]
Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang tidak
bersifat bendawi dan yang tidak dapat mati. Jika memiliki pemikiran sebagai
sifat asasinya. Tubuh memiliki sifat asasiya : keluasan.
Yang disebut substansi adalah apa yang berada
sedemikian rupan, sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada.
Substansi yang dipikirkan seperti itu sebenarnya hanya ada satu saja, yaitu
Allah.
Yang disebut Modus (Jamak Modi) adalah segala
sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah
Yang disebut atribut adalah sifat asasi. Jelas juga bahwa roh atau jiwa
memiliki sebagai sifat asasinya : pemikiran (cogitation), dan memiliki
sebagai modinya : pikiran-pikiran individual, gagasan-gagasan dan gejala-gejala
kesadaran yang lain. Roh atau jiwa pada hakekatnya berbeda dengan benda. Sifat
asasi roh adalah pemikiran, sedang sifat asasi benda adalah keluasan.[[6]] Manusia bukanlah
tujuan penciptaan dan juga bukan menjadi pusatnya. Umat manusia mewujudkan
suatu organisme yang besar, sedang perorangan adalah bagian dari keseluruhan. Oleh karena itu jika perlu, perorangan harus mau berkorban demi
kebaikan keseluruhan umat manusia.
Arti Descartes terletak di sini, bahwa ia
telah memberi suatu arah yang pasti kepada pemikiran modern, yang menjadikan
orang dapat mengerti aliran-aliran filsafat yang timbul kemudian daripada dia,
yaitu idealisme dan positivisme.
2.
Gootfried Eihelm von
Leibniz
Gootfried Eihelm von Leibniz lahir pada tahun
1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. Ia filosof Jerman, matematikawan,
fisikawan , dan sejarawan. Metafisikanya adalah idea tentang substansi yang
dikembangkan dalam konsep monad.
Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian
pada substansi. Bagi Spinoza, alam sesta ini mekanistis dan keseluruhannya
bergantung kepada sebab, sementara substansi pada Leibniz ialah prinsip akal
yang mencukupi, yang secara sederahana dapat dirumuskan ”sesuatu harus
mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang
dicintai-Nya. Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut
substansi-substansi itu monad.[[7]] Setiap monad berbeda dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad
dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah Pencipta monad-monad
itu.
3.
Blaise Pascal (1623-1662
M)
Orang ketiga yang kita bicarakan adalah Blaise
Pascal (1623-1662). Yang adalah seorang ahli ilmu pasti, ahli ilmu alam
dan seorang filsuf. Ia berusaha untuk membela agama kristen, yang mendapat
serangan-serangan hebat karena pemikiran modern ini. Di satu pihak ia sama halnya
dengan Descartes, mencintai ilmu pasti dan ilmu alam, akan tetapi di lain pihak
ia menampakan perbedaan dengan Descartes. Perbedaannya terletak pada pengertian
tentang sifat ilmu alam jauh melebihi Descartes. Ia menerima serta menerapkan
metode induktif seperti yang dipakai di dalam ilmu alah. Ilmu pasti bukan suatu
ilmu yang metodenya harus ditiru oleh seorang filsuf. Sebab seorang filsuf
pertama-tama harus menyelami keadaan manusia yang konkrit dihadapi, orang demi
orang, bahwa realitas itu pada hakekatnya adalah suatu rahasia.[[8]]
Filsafat pascal mewujudkan suatu dialog
diantara manusia yang konkrit dengan Allah. Di dalam relitas hidup manusia
terdapat tiga macam tertib, yaitu : tertib bendawi, tertib rohani, dan tertib
kasih. Pengetahuan didapatkan dari pengamatan di dalam pengamatan inderawi
tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Segala
pengetahuan dimulai dengan gambaran-gamabaran inderawi. Kemudian ditingkatkan
hingga sampai kepada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan
rasional dan pengetahuan intuitif.
4.
Spinoza (1632-1677 M)
Didalam etikanya Spinoza mulai dengan
menguraikn hal afek-afek atau perasaan-perasaan. Segala perasaan atau afek
lainnya diturunkan dari ketiga perasaan. Pertama-tama yang diturunkan dari rasa
gilang adalah kasih (amor), sedang yang dirutunkan dari rasa sedih adalah
kebencian (odium). Lebih kemudian diturunkan lagi rasa kagum (admiratio) dari
pada kasih dan penghinaan (conteniptus) dari pada kebencian.
Latar belakang pemikran Spinoza ini adalah
pengertian aktivitas. Aktivitaslah yang dapat membawanya kepada kesempurnaan.
Tujuan pengenalan segala perasaan tadi adalah untuk menguasainya. Barang siapa
mengenal akan segala perasannya, ia akan melihat gejala-gejala,
perasaan-perasaan itu dalam hubungannya sehingga ia juga akan menguasainya. Di
dalam perealisasian diri dalam kasih yang akali inilah manusia berusaha menuju
kepada Allah (amor Dei intellectualis).
Ajaran Spinoza di bidang metafisika
menunjukkan kepada suatu ajaran Monistis yang logis, yang mengajarkan bahwa
dunia sebagai keseluruhan, mewujudkan suatu substansi tunggal. Ajaran ini
didasarkan atas keyakinan, bahwa tiap hal memiliki suatu subyek tunggal dan
suatu predikat tunggal, sehingga harus disimpulkan, bahwa segala hubungan dan
kejamakan adalah semu.
B.
EMPIRISME
Empirisme
adalah salah satu aliran dalam filasuf yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkah peranan akal. Istilah Empirisme
diambil dari bahasa Yunani, Empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.
Sebagai doktrin, Empirisme adalah lawan Rasionalisme.[[9]]
Filsafat
Empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positivisme logis
(logical positivisme) dan filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan tetapi teori makna
dari empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena
itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman
kesadaran. Materi sebagai gelombang pengalaman kesadaran. Materi sebagai pola
(pattern) jumlah yang dapat diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan
peristiwa yang sama.
Teori yang
kedua yaitu teori pengetahuan. Menurut orang rasionalis ada bebreapa kebenaran
umum. Seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika dan
beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan
sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat
intuisi rasional. Empirisme menolah pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi
rasional, semua kebenaran yang disebut tdai adalah kebenaran yang diperoleh
lewat obeservasi jadi ia kebenaran a
poseriori.
Diantara
tokoh dan pengikut aliran Empirisme adalah Francis Bacon, Thomas Hobbes, John
Lock dan lainnya.
1. Francis Bacon (1210-1292 M)
Menurut
Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diterima orang melalui persentuah inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman
merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan
induksi. Kata Bacon selanjutnya : Kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh
metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Itu tidak benar, haruslah
kita sekarang memperhatikan yang konkrit mengelompokkan, itulah tugas ilmu
pengetahuan.
2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut
Thomas Hobbes berpendapat bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala
pengenalan. Hanya sesuatu yang[[10]]
yang dapat disentuh dengan
inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan interlektual (rasio) tidak lain
hanyalah merupakan penggabungan data-data inderawi belaka.
Pengikut
aliran Empirisme yang lain diantaranya : John Locke (1632-1704 M), David Hume
(1711-1776 M), Georger Berkeley (1665 – 1753 M).
3. John Locke (1632-1704 M)
Ia adalah
filosuf Inggris yang banyak mempelajarai agama Kristen. Filsafat Locke dapat
dikatakan anti metafisika. Ia
menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak
intuisi yang digunakan oleh Descaretes. Ia juga menolak metoda deduktif
Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman; jadi,
induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran
matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.
Buku Locke,
Essay Concerming Human Understanding (1689
M), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari
pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea untuk konsep
tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang
diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke menolak
adanya innate ide; termasuk apa yang
diajarkan oleh Descartes, Clear and
Distinict Idea. Adequate idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibniz, semuanya ditolaknya. Yang innate
(bawaan) itu tidak ada. Inilah argumennya.
a.
Dari
jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti
ditempelkan pada jiwa manusia,[[11]] dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya
kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang,
yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita
sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli
b.
Persetujuan
uum adalah argumen yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh
umum tentang adanya innate idea justru saya jaidkan alasan untuk mengatakan ia
tidak ada
c.
Persetujuan
umum membuktinkan adanya innate idea
d.
Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah
meungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang
mengatakan ada innate idea justru
saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada
e.
Tidak
juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, ide yang innate itu tidak ada padahal
anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.
Ia
mengatakan bahwa apa yang dianggapnya substansi ialah pengertian tentang obyek
sebagai idea tentang obyek itu yang dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari
indera. Akan tetapi, Locke tidak berani menegaskan bahwa idea itu adalah
substansi obyek, substansi kita tidak tahu.
Persoalan
substansi agaknya adalah persoalan metafisika sepanjang masa; Berkeley dan Hume
masih juga membicarakannya.
4. David Hume (1711-1776 M)
Solomon
menyebut Hume sebagai ultimate skeptic, skeptic
tingkat tertinggi. Ia dibicarakan di sini sebagai seorang skeptis, dan terutama
sebagai seorang empiris. Menurut Bertrans Russel, yang tidak dapat diragukan
lagi pada Hume ialah seorang skeptis.
Buku Hume, Treatise of Human Nature (1739 M),
ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu tatakala ia berumur dua puluh tahunan
bagian awal. Buku itu tidak banyak menarik perhatian orang, karenanya[[12]] Hume pindah ke subyek lain, lalu ia
menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan. Kemudian pada tahun 1748 M ia
menulis buku yang memang terkenal. An
Enquiry Concerning Human Understanding. Baik buku Treatise maupun buku Enquiry
kedua-duanya menggunakan metoda
Empirisme, sama dengan John Locke. Sementara Locke hanya sampai pada idea
yang kabur yang tidak jelas berbasi pada sensasi (khususnya tentang substansi
dan Tuhan), Hume lebih kejam.
5. Herbert Spencer (1820-1903 M)
Filsafat
Herbet Spencer berpusat pada teori evolusi.sembilan tahun sebelum terbitnya
karya Darwin yang terkenal, The Origen of
Species (1859 M), Spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi.
Empirismenya terlihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut Spencer, kita hanya dapat mengenali
fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Secara prinsip pengenalan kita hanya
menyangkit relasi-relasi antara gejala-gejala. Di belakang gejala-gejala ada
sesuatu yang oleh Spencer disebut yang tidak
diketahui (the great unknowable).
Akhirnya
Spencer mengatakan : idea-idea keilmuan
pada akhirnya adalah penyajian realistis yang tidak dapat dipahami”. Inilah
yang dimaksud dengan the great
unknowable, teka-teki besar.[[13]]
C.
KRITISISME
Pendirian aliran rasionalisme dan
Emperisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah
sumber pengalan/pengetahuan, sedang Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa
pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.
Imanuel Kant (1724-1804 M) berusaha
mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan
Kritisisme (aliran yang krisis). Untuk itulah ia menulis 3 buku yang berjudul :
Ø Kritik der Rainen Vernuft ( kritik atas
rasio murni)
Ø Kritik der Urteilskraft ( kritik atas
dasar pertimbangan)
Ø Kritik rasio praktis
Menurut Kant dalam pengenalan inderawi
selalu sudah ada 2 bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar
dalam struktur subyek sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas dari subyek
yang mengindera, tetapi realitas (das ding an sich = benda dalam dirinya) tidak
pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesa
antara hal-hal yang datang dari luas (aposteriori) dengan bentuk ruang dan
waktu (apriori).
BAB 1II
PENUTUP
KESIMPULAN
Rasionalisme
adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan
yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari
peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau
sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat
menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif.
Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan
“aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
Empirisme
adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau
pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber
pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari
pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme
menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang
empiris.
Ciri-ciri kritisisme diantarnya
adalah sebagai berikut:
• Menganggap bahwa objek pengenalan itu
berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
• Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio
manusia untuk mengetahui realitas atau
hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu
menjangkau gejalanya atau fenomenya saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadiwijono,
Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Baru
2. Yogyakarta : Kanisius
Syadali,
Ahmad dan Mudzakir. 1997. Filsafat Umum. Bandung : Pustaka Setia
[1]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta
: Kanisius, 1980. hal.18
[2]
Ibid hal.19
[3]
Ibid hal.20
[4]
Ibid hal 21
[5]
Ibid hal 22
[6]
Ibid hal 23
[7]
Ahmad Syadali, Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 1997, hal 109
[8]
Opcit hal 25
[9]
Opcit hal.116
[10]
Opcit hal.117
[11]
Opcit hal 118
[12]
Opcit hal 120
[13]
Opcit hal. 121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar